Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2025

Hikayat Tukang Sinau

Woko Utoro  Beberapa kali Gus Kautsar berkata bahwa keramat itu tidak berguna jika kita tidak belajar. Nampaknya perkataan itu juga dikuatkan oleh Gus Baha jika keramat dalam arti sakti, bisa terbang, mampu berdiri di atas air sungguh hal itu tidak keren. Karena hal-hal tersebut hanya membuat takjub dan bermanfaat bagi individu. Berbeda dengan orang pembelajar dan mengajar maka dampaknya untuk banyak orang. Belajar atau sinau memang merupakan hal istimewa. Sampai-sampai wahyu pertama turun pada Kanjeng Nabi Muhammad SAW berisi perintah belajar. Apa saja boleh dipelajari asalkan tidak bertentangan dengan syariat. Allah SWT juga menjanjikan akan meninggikan derajat orang-orang yang senang belajar. Bahkan pembelajar akan dimudahkan jalannya menuju surga. Belajar itu bisa dengan siapa saja dan kapan saja. Akan tetapi belajar soal agama harus berpedoman pada guru. Tanpa bimbingan guru keilmuan seseorang boleh diragukan. Karena agama itu tidak bisa dipelajari hanya berdasarkan pendapat priba...

Menjelajah Lewat Majalah

Woko Utoro  Di setiap tempat yang saya kunjungi jika itu ada karya tulis maka langsung tergelitik ingin membeli. Termasuk perjalanan kemarin ke Jombang saya langsung membeli Majalah Pondok Pesantren Tebuireng. Bagi saya majalah itu luar biasa dan banyak hal yang kita dapat. Dari majalah itulah kita diingatkan pada fakta sejarah era lampau. Pada tahun 1884 Syeikh Muhammad Abduh mengenalkan pemikirannya lewat Majalah al-Urwa al-Wuthqa. Majalah tersebut mengajak umat Islam untuk kembali keajaran sejati, menolak taklid dan lebih mengutamakan ijtihad. Syeikh Muhammad Abduh dan Syeikh Jamaluddin al Afghani dikenal sebagai tokoh modernis dalam Islam. Pada 1889 Syeikh Rasyid Ridha melanjutkan proyek menulis tafsir Al Qur'an dan mengembangkan Majalah Al Manar pasca wafatnya Syeikh Muhammad Abduh. Majalah Al Manar berarti mercusuar. Syeikh Rasyid Ridha dan Al Manar-nya sama yaitu bercita-cita agar umat Islam bangkit dari keterpurukan. Umat Islam harus berlomba-lomba dalam ijtihad dan mening...

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Wasilah Perjalanan : Apa Yang Hendak Dicari

Woko Utoro Perjalanan itu unik selalu ada saja hal menarik saat kita berhenti, beristirahat, menepi dan sampai. Setiap perjalanan selalu mengandung pelajaran sekaligus pertanyaan. Pelajaran berkaitan dengan pemaknaan dan pertanyaan apa yang hendak dicari atau di mana kita akan berhenti. Yang jelas perjalanan hari itu adalah ziarah ke maqbarah Mbah Hasyim Asy'ari. Sebuah undangan yang sangat batiniah dan jika tak berbalas seolah saya memiliki hutang. Hingga akhirnya perjalanan itu menunaikan semua hal yang mengganjal di jiwa. Saya pun bisa curhat dengan sepuasnya lewat lantunan shalawat dan bacaan fatihah. Ketika di sana saya pun memanjatkan doa. Saya berwasilah atas nama kekasih semoga saja hidup semakin terarah. Saya pun tak lupa menyebut namanya sebanyak mungkin berharap ada secercah harapan. Bukankah harapan itu serupa cahaya yang menerangi kita di kala gelap gulita. Saya juga berdoa mengetuk pintu langit lewat makam orang mulia. Berharap keberanian dan warisan ilmunya dapat say...

Wasilah Perjalanan : Aku Tetap Bertahan

Woko Utoro Jika anda membaca tulisan saya sebelumnya berjudul, "Mencari Tempat Menangis" maka akan tahu bahwa ada sesuatu yang bersifat batin. Sedangkan kata-kata yang dirangkai tidak bisa mewakili semua perasaan. Tapi melalui puisi kecil itu saya berkisah tentang perjalanan sederhana dari Tulungagung menuju Jombang. Awalnya ketika Haul Gus Dur ke-15 sebenarnya saya ingin ke sana. Akan tetapi karena beberapa hal akhirnya saya mengurungkan niat. Hingga tibalah momen itu pada tanggal 5 Januari 2025 atau tepat di hari Minggu. Saya berangkat sendiri dengan armada Commuter Line Dhoho jurusan Blitar Surabaya. Beberapa teman sebenarnya ingin ikut. Akan tetapi saya larang karena ini hajat pribadi. Dan saya hanya ingin sendiri. Saya hanya ingin belajar berani. Mungkin bagi orang lain hal itu perkara sepele. Tapi bagi saya setiap perjalanan adalah berharga. Perjalanan selalu memandu saya hingga ke masa depan. Dalam perjalanan itu saya bertemu rombongan ibu-ibu meramaikan suasana gerbo...

Mencari Tempat Menangis

Woko Utoro Saya buka tulisan ini dengan sebuah puisi atau sebenarnya merupakan lirik lagu judulnya sama seperti di atas. Mencari Tempat Menangis Aku datang di Minggu pagi Menuju rumah keabadian Semburat senyum hadir mencerah Mengobati luka menganga Di pusara mu aku bersimpuh menumpahkan air mata Rasa sakit di dalam dada Hilang sudah muaranya Cahaya di atas cahaya Datang memeluk dengan lembut Aku terdiam seribu bahasa Tapi lega rasanya Kini hidup telah berganti Menajamkan pikir dan hati Esok aku akan berjanji Hilanglah sudah benci Jombang, 5/1/25 Puisi tersebut saya buat saat di kereta perjalanan Sumbergempol sampai Kertosono. Puisi tersebut saya buat spontan saja tanpa perenungan khusus. Yang jelas puisi itu dibuat bukan berdasarkan pikiran melainkan suasana hati. Jika anda membaca puisi tersebut nampaknya akan paham apa makna yang terkandung dari sanubari penulis. Lewat puisi itu saya hanya ingin bilang bahwa laki-laki itu boleh menangis. Laki-laki menangis itu memiliki memiliki cara ...

Ketenangan atau Kesejahteraan

Woko Utoro  Saat ditanya memilih tenang atau sejahtera tentu kita dilema. Di satu sisi kita mengharap hidup bahagia di sisi yang lain kita juga menginginkan ketenangan. Lantas adakah prinsip mengenai tenang dan sejahtera. Selama ini saya memahami sejahtera bagi mayoritas orang selalu berkonotasi pada harta. Bagi masyarakat secara umum memiliki harta lebih menyenangkan. Padahal kesejahteraan batin adalah kunci mengawal hidup. Ada banyak orang yang berlimpah harta tapi faktanya selalu sumpek dan bergejolak hidupnya. Maka dari itu berdoalah agar diberikan sejahtera lahir batin. Sedangkan ketenangan yang saya pahami banyak term dalam al Qur'an. Salah satu yang familiar kita jumpai yaitu sakinah, tuma'ninah hingga mutmainnah. Semua term tersebut bermakna tenang, tentram, aman, dan damai. Sekarang terserah kita apa sesungguhnya yang dicari. Bagi saya hidup itu mencari ketenangan dan keselamatan. Kata Mbah Nun, hidup sudah pra sejahtera, mlarat, tak berpunya lantas apalagi yang ingin...

Mahalul Qiyam: Tetap Berdiri Walaupun Rapuh

Woko Utoro Ada banyak kitab maulid yang kita ketahui bahkan diamalkan di tengah masyarakat. Akan tetapi yang populer tentu Maulid Diba' dan Al Barzanji. Dua kitab tersebut sangat populer bahkan selalu disenandungkan dalam beberapa acara seperti muludan, manaqiban, selapanan, tingkeban dan pastinya shalawatan. Akan tetapi tahukah anda mengapa saat mahalul qiyam tiba kita dianjurkan berdiri. Sebenarnya tak ada anjuran khusus berkaitan dengan berdiri saat mahalul qiyam. Hanya saja logika sederhana terbangun yaitu saat ada pejabat datang secara spontan kita berdiri. Lantas apa salahnya ketika Kanjeng Nabi Muhammad SAW hadir kita bersegera berdiri. Titik poinnya adalah berdiri dalam rangka penghormatan dan itu berlaku untuk siapapun. Dulu Kanjeng Nabi Muhammad SAW memerintahkan para sahabat berdiri ketika ada jenazah yang lewat. Padahal jenazah tersebut merupakan orang Yahudi. Selanjutnya ketika peristiwa hijrah dari Mekah ke Madinah para sahabat Anshar berdiri untuk menyambut rombongan...

Menziarahi Kata-kata

Woko Utoro  Aku pernah bertanya pada seorang teman kemana puisi mu pergi. Mengapa hingga malam bahkan tahun berganti ia tak kunjung kembali. Aku hanya ingin memastikan saja puisi itu baik-baik saja. Ataukah pertanyaan ku tidak tepat bahwa puisinya telah menjelma perahu kertas yang menjelajah ke luar pulau. Atau puisinya menjelma burung dan terbang ke setiap reranting hati nan luka. Jika demikian tentu aku sangat senang bahwa kecintaan nya pada puisi tak pernah padam. Kesukaan nya di dunia menulis tak tergantikan oleh apapun. Yang menurut hemat ku dia akan berubah mungkin karena masalah hidup masih menghinggapinya. Aku yakin dia dan diriku sendiri bisa melewati jika pun badai kehidupan selalu menghadang silih berganti. Salah satu badai itu adalah ketakutan, kecemasan dan kekecewaan yang timbul akibat percikan gejolak batin. Maklum saja manusia tuna asmara seperti kita selalu kesulitan memahami wanita. Singkat kisah teman ku pergi jauh untuk waktu yang lama. Aku tanya lagi bagaimana tuli...

Hidup Adalah Petualangan

Woko Utoro  Tahun telah berganti sedangkan ketika ditanya apa yang sudah didapatkan dalam pencarian. Sebenarnya tidak ada. Yang ada hanyalah aliran dan kita hanya mencoba mengalir. Entah kapan aliran itu bermuara yang jelas sebenarnya kita tak pernah kehilangan apapun. Seperti kata T. S Elliot bahwa waktu itu bukan seperti medan datar. Waktu itu serupa lingkaran yang terus berputar. Maka dari itu hidup berputar terus sambil memastikan semua baik-baik saja. Hidup itu sepaket di mana problem selalu bergandengan dengan solusi. Di mana derita selalu terselip bahagia. Di mana kesulitan bersamaan dengan kemudahan. Bahkan di antara putus asa dan harapan ada doa dan kesempatan. Di sinilah pentingnya kita membaca. Karena hanya dengan membaca kita akan terus belajar akan kesalahan. Sambil berharap kesalahan tak terulang lagi. Membaca memungkinkan seseorang mengurai gagasan, menyajikan ide dan berkelit dengan pikiran. Setelah itu barulah menulis sebagai jalan mengenali diri. Kata Kuntowidjoyo men...

Resolusi Literasi 2025

Woko Utoro Sejak dulu saya tidak punya tradisi menulis resolusi. Walaupun hari, bulan dan tahun berganti semua saya maknai biasa saja. Semua mengalir saja apa adanya. Dalam urusan apapun termasuk baca tulis saya cenderung biasa saja. Entah apa yang saya rasakan pada saat itu dan kini. Yang jelas ada semacam pengalaman traumatik dan membuat saya merenung lama. Sejak kecil apa yang saya inginkan, harapkan hingga cita-cita semua seolah ilusi. Sesuatu yang sulit untuk digapai bahkan jauh dari target. Bukan soal pesimistis tapi ada sesuatu yang bersifat batiniah dan membuat saya maju mundur. Akhirnya yang bisa dilakukan hanyalah berjalan apa adanya. Sejak dulu harapan dan target saya tulis tapi tak ada satupun terwujud. Mungkin ada beberapa yang terwujud akan tetapi lebih bersifat spontanitas. Semua target dan harapan yang tertulis selalu meleset jauh. Saya sendiri merasa pengalaman era lalu harus diperbaiki. Hal itu tidak berkaitan dengan ditulis atau tidak. Tapi lebih pada mindset, strate...