Woko Utoro
Sejak kemunculannya media sosial memudahkan manusia dalam berkomunikasi. Dengan adanya media sosial komunikasi manusia tidak terbatas. Siapa dan kapan saja bisa saling terhubung. Bahkan di ujung dunia pun komunikasi bisa dilakukan hanya dengan sekali klik.
Kecepatan dan kemudahan lewat media sosial itulah dalam hemat saya selalu bermata dua. Di satu sisi membantu memangkas jarak serta memudahkan komunikasi manusia. Tapi di sisi yang lain ada dampak besar dan selalu tidak disadari. Dampak tersebut berkaitan dengan mental health dan emosi manusia.
Salah satu dampaknya yaitu di saat kita mengkonsumsi medsos lewat beberapa konten receh. Konsumsi konten receh memungkinkan kita terkena brain rot alias pembusukan otak. Awalnya kita merasa terhibur dengan konten ringan seperti berjoget hingga humor. Tapi lambat laun tanpa di sadari fungsi otak dan intelektual justru menurun. Salah satunya otak dipaksa dijejali konten receh dan tidak pernah kita ajak untuk membaca. Padahal semakin banyak membaca otak justru makin tajam dan kritis.
Jika brain rot berkaitan dengan output maka problem selanjutnya adalah input berupa toksik media sosial. Polanya hampir serupa yaitu orang mengkonsumsi konten-konten relite secara berlebihan. Misalnya quotes atau kata-kata dengan iringan musik (baca: bagsound). Awalnya mungkin sebagai motivasi tapi lambat laun hanya sebagai legitimasi emosi.
Orang yang sering mengkonsumsi quote plus bagsound musik menganggap dirinya paling menderita. Akibatnya quotes tersebut dianggap mewakili perasaannya. Jika sudah demikian biasanya mereka akan memposting di akun media sosial pribadi maupun share ke beberapa teman. Di kondisi ini mereka sebenarnya sedang terkena trap alias jebakan emosi atau terjadi glorifikasi perasaan.
Mereka sebenarnya tidak sedang jujur dengan diri sendiri. Atau dalam fungsi media sosial terjadi perjumpaan semu antara perasaan dan kata-kata tersebut. Akhirnya mereka akan mencari quotes yang dianggap mewakili perasaan hati. Quotes tersebut lalu bekerja secara senyap atau beresonansi mencari perasaan kosong dan akan terus bertahan seiring algoritma media sosial.
Belum usai sampai di situ ada satu problem lagi yaitu scrolling. Scrolling ini memungkinkan kita diperbudak media sosial lewat gawai. Akibatnya tanpa di sadari kita kehabisan waktu produktif karena terlalu berlama-lama di depan layar. Jika sudah demikian lantas kapan kita memiliki waktu khusus untuk berduaan bersama kekasih. Bukankah ada hal yang bersifat rohani dan hal itu tersembunyi di balik kesendirian bersamaNya.[]
the woks institute l rumah peradaban 21/1/25
Komentar
Posting Komentar