Woko Utoro
Jika disodorkan kata teguh kita akan berpikir tentang sikap tenang dan elegan atau orang Jawa menyebutnya aris, ora grusa grusu. Teguh dengan tambahan afiks ke- dan sufiks -an jadi keteguhan menandakan sikap yang luar biasa. Sedangkan kita bisa belajar Keteguhan dari siapapun. Bahkan batu karang di lautan lepas adalah simbol keteguhan yang bisa kita pelajari.
Terlebih keteguhan orang tua adalah satu dari sekian sikap ajeg hingga kini. Orang tua akan terus ada untuk anaknya sampai kapanpun. Mereka akan tetap teguh sekalipun badai menerpa. Orang tua pantang untuk mengeluh di depan anaknya. Mereka akan melakukan apapun demi kebaikan anaknya.
Sikap keteguhan juga bisa kita lihat dari Santiago si nelayan tua dalam The Old Man and the Sea karya Ernest Hemingway. Santiago nelayan tua yang berjuang melawan ikan marlin raksasa di tengah lautan. Seperti yang diketahui bahwa Santiago tetap bertahan di tengah lautan dan menghabiskan 84 hari tanpa ikan. Bisa dibayangkan betapa teguhnya Santiago terombang-ambing di lautan seolah tak berguna. Padahal keteguhan adalah konsistensi walaupun dunia memang kadang tak mengakui. Sehingga tak ada hal yang tak berguna, semua pasti bernilai dan tidak perlu pengakuan juga.
Bahwa keteguhan itu sederhana namun sulit dipraktekkan. Keteguhan itu membutuhkan energi besar. Keteguhan itu bukan sekadar bertahan di tengah goncangan melainkan tetap melanjutkan perjalanan walaupun mungkin terasa sulit. Keteguhan juga tidak ada kaitannya dengan hasil. Bahkan kegagalan pun bisa dikatakan keteguhan. Sebab keteguhan berarti menghargai proses bukan pada hasil.
Apresiasi terhadap perjuangan, harapan dan ketangguhan adalah keteguhan sejati. Karena bersikap teguh adalah kebijakansanaan yang mahal harganya. Termasuk keteguhan itu tidak semua orang mampu. Keteguhan hanya dimiliki oleh orang yang murni hatinya.[]
the woks institute l rumah peradaban 26/1/25
Komentar
Posting Komentar