Woko Utoro
Di setiap tempat yang saya kunjungi jika itu ada karya tulis maka langsung tergelitik ingin membeli. Termasuk perjalanan kemarin ke Jombang saya langsung membeli Majalah Pondok Pesantren Tebuireng. Bagi saya majalah itu luar biasa dan banyak hal yang kita dapat. Dari majalah itulah kita diingatkan pada fakta sejarah era lampau.
Pada tahun 1884 Syeikh Muhammad Abduh mengenalkan pemikirannya lewat Majalah al-Urwa al-Wuthqa. Majalah tersebut mengajak umat Islam untuk kembali keajaran sejati, menolak taklid dan lebih mengutamakan ijtihad. Syeikh Muhammad Abduh dan Syeikh Jamaluddin al Afghani dikenal sebagai tokoh modernis dalam Islam.
Pada 1889 Syeikh Rasyid Ridha melanjutkan proyek menulis tafsir Al Qur'an dan mengembangkan Majalah Al Manar pasca wafatnya Syeikh Muhammad Abduh. Majalah Al Manar berarti mercusuar. Syeikh Rasyid Ridha dan Al Manar-nya sama yaitu bercita-cita agar umat Islam bangkit dari keterpurukan. Umat Islam harus berlomba-lomba dalam ijtihad dan meninggalkan tradisi kolot masa silam. Syeikh Rasyid Ridha dikenal sebagai tokoh reformis dalam Islam.
Berbeda dengan Majalah Urwatul Wustho yang bertahan hanya 18 edisi, Al Manar justru bertahan hingga tahun 1935. Al Manar pun bahkan dikenal luas ke penjuru negeri tak terkecuali bagi KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy'ari di Indonesia.
KH Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah menerbitkan Majalah Suara Muhammadiyah pada 1915. Tujuannya untuk menyebarkan pemahaman Islam amar ma'ruf nahi' munkar. Sedangkan KH Hasyim Asy'ari melalui Nahdlatul Ulama menerbitkan Majalah Swara Nahdlatul Ulama pada 1928. Tujuannya untuk menyebarkan perjuangan NU, memuat perkembangan dunia Islam, masalah pemerintahan dan juga ilmu pengetahuan. Majalah Swara NU ini dipimpin oleh KH Wahab Hasbullah dan KH Mas Abdul Kohar di Surabaya.
Dari majalah itulah potongan peristiwa dan sejarah dapat kita ingat kembali. Majalah juga memungkinkan kita untuk melihat klipingan kehidupan khususnya di pondok pesantren. Dari majalah kita dapat mengakses pengetahuan serta turut andil dalam merawat tradisi literasi. Coba saja jika pada saat itu tidak ada majalah mungkin saja Indonesia atau bahkan Islam sungguh tak akan dikenal.[]
the woks institute l rumah peradaban 11/1/25
Komentar
Posting Komentar