Woko Utoro
Ada banyak kitab maulid yang kita ketahui bahkan diamalkan di tengah masyarakat. Akan tetapi yang populer tentu Maulid Diba' dan Al Barzanji. Dua kitab tersebut sangat populer bahkan selalu disenandungkan dalam beberapa acara seperti muludan, manaqiban, selapanan, tingkeban dan pastinya shalawatan. Akan tetapi tahukah anda mengapa saat mahalul qiyam tiba kita dianjurkan berdiri.
Sebenarnya tak ada anjuran khusus berkaitan dengan berdiri saat mahalul qiyam. Hanya saja logika sederhana terbangun yaitu saat ada pejabat datang secara spontan kita berdiri. Lantas apa salahnya ketika Kanjeng Nabi Muhammad SAW hadir kita bersegera berdiri. Titik poinnya adalah berdiri dalam rangka penghormatan dan itu berlaku untuk siapapun.
Dulu Kanjeng Nabi Muhammad SAW memerintahkan para sahabat berdiri ketika ada jenazah yang lewat. Padahal jenazah tersebut merupakan orang Yahudi. Selanjutnya ketika peristiwa hijrah dari Mekah ke Madinah para sahabat Anshar berdiri untuk menyambut rombongan Rasulullah SAW. Dan di momen itu Rasulullah SAW tidak melarang mereka untuk berdiri dalam seremoni penyambutan.
Kita pun bertanya saat mahalul qiyam apakah Kanjeng Nabi Muhammad SAW hadir. Bagaimana bisa atau apakah mungkin beliau hadir. Bukankah manusia mulia itu sudah wafat ribuan tahun lalu. Jika memang bisa bagaimana cara kita dapat berjumpa dengan beliau. Bukankah pertemuan dengan manusia agung itu dambaan semua mahluk. Bahkan jika bertanya pada sebatang kurma serta batu gilingan tepung milik Sayyidah Fatimah pasti akan berharap berdekatan dengan beliau sang pemilik kelembutan.
Apakah mungkin orang awam seperti kita dapat berjumpa dengan Rasulullah SAW. Bukankah mahalul qiyam itu berbahasa Arab dan kita tidak mengetahui artinya. Bahkan sesekali kita pun menghadap ke atas, menunduk, menengok ke samping hanya memastikan apakah Rasulullah SAW hadir. Ataukah kita memang berupaya mengetahui arti mahalul qiyam.
Setelah direnungkan pusatnya bukan soal arti tapi kitalah yang masih gelap gulita berlumpur dosa. Sedangkan bagi orang-orang suci ruh Kanjeng Nabi Muhammad SAW hadir bahkan begitu dekat. Sedangkan kita hanya diberi akses untuk tiba-tiba berlumuran air mata saat mahalul qiyam bergema. Tak peduli suara vocal atau sound system nya toh kita akan tetap berdiri berharap Kanjeng Nabi menemani.
Sungguh saat mahalul qiyam bergema tak ada kenikmatan seindah ketenangan. Di sanalah genderang ditabuh dan kita begitu khusyuk. Tak ada yang mengalahkan khusyuk nya saat kita berdiri menyebut-nyebut namanya. Mungkin suasana itu kelak akan kita ulangi ketika memanggil namanya untuk menyelamatkan di akhirat nanti.
Mahalul qiyam merupakan puncak maulid. Di mana sosok panutan alam itu lahir dan hadir di tengah umat. Walaupun ribuan tahun lamanya kita ditinggal beliau. Tapi beliau tetap membersamai kita dalam keadaan apapun. Kanjeng Nabi Muhammad SAW dan umatnya memang tidak bisa dipisahkan sekalipun telah berganti jaman. Maka tidak salah kata Sayyidina Ali jika menemukan kebuntuan hidup bertawasulah dengan namanya yang agung. Insyaallah segala masalah akan menemukan solusinya.
Di sinilah daya magis mahalul qiyam selalu terjadi. Dan di saat kita berdiri tak peduli soal arti. Bahkan sekalipun tertatih kita akan berusaha berdiri demi menghormati sang nabi. Tak ada keinginan lain melebihi dekat dan menatap wajahnya nan anggun. Ya Rasulallah, engkau mentari, engkau rembulan. Cahaya mu benderang menembus semesta. Sholawat dan salam ku untuk mu wahai penghulu alam semesta.[]
the woks institute l rumah peradaban 5/1/24
Komentar
Posting Komentar