Woko Utoro
Perjalanan itu unik selalu ada saja hal menarik saat kita berhenti, beristirahat, menepi dan sampai. Setiap perjalanan selalu mengandung pelajaran sekaligus pertanyaan. Pelajaran berkaitan dengan pemaknaan dan pertanyaan apa yang hendak dicari atau di mana kita akan berhenti.
Yang jelas perjalanan hari itu adalah ziarah ke maqbarah Mbah Hasyim Asy'ari. Sebuah undangan yang sangat batiniah dan jika tak berbalas seolah saya memiliki hutang. Hingga akhirnya perjalanan itu menunaikan semua hal yang mengganjal di jiwa. Saya pun bisa curhat dengan sepuasnya lewat lantunan shalawat dan bacaan fatihah.
Ketika di sana saya pun memanjatkan doa. Saya berwasilah atas nama kekasih semoga saja hidup semakin terarah. Saya pun tak lupa menyebut namanya sebanyak mungkin berharap ada secercah harapan. Bukankah harapan itu serupa cahaya yang menerangi kita di kala gelap gulita.
Saya juga berdoa mengetuk pintu langit lewat makam orang mulia. Berharap keberanian dan warisan ilmunya dapat saya pinjam walaupun sedikit. Tentu keberkahan dari kekasih Allah adalah keutamaan daripada amal kita yang rapuh.
Saya pun kadang berpikir apa yang mesti dicari di dunia ini. Di mana kita mesti bermuara. Dan jika tak tau arah ke mana kita mengadu. Sungguh pertanyaan itu tak mengandung jawab jika kita tidak memberinya makna. Bukankah orang modern telah kalah ditelan kesibukan. Hingga mereka lupa bagaimana cara menikmati hidup.
Manusia modern justru lebih sering terjebak dengan rutinitas, dalam bahasa Byung Chul Han, the Burnout Society (2015) atau masyarakat yang kelelahan. Mereka yang menua di jalanan demi peras keringat banting tulang. Terjebak macet dan kehabisan waktu beristirahat. Mereka bekerja siang malam tanpa pernah menikmati hasilnya. Mereka yang berlomba demi kebahagiaan orang lain dan lupa dengan kebahagiaan diri sendiri. Mereka yang justru kadang lupa bahwa dirinya adalah manusia. Mereka yang memuluskan segala cara demi ambisi posisi dan jabatan. Mereka yang menggadaikan segalanya demi hal sementara.
Jika kita merasa kehilangan sesuatu maka carilah. Tapi jika kita tidak merasa kehilangan apapun maka koreksilah. Barangkali ada hal-hal bersifat batiniah yang kita mudah melupakannya. Begitulah pikiran saya seperti halnya Socrates bahwa kebahagiaan semakin dicari justru tak akan ditemukan. Kebahagiaan adalah energi yang diciptakan oleh hati.
Aristoteles berkata bahwa puncak dari tindakan etis adalah kebahagiaan bersifat "eudemonia" alias intelektual. Artinya bahwa kebahagiaan itu adalah ketika kita mampu membagi kebermanfaatan buat sesama. Tak ada lain bahwa puncak dari perjalanan adalah peninggalan kebermanfaatan yang dirasakan oleh lingkungan.[]
the woks institute l rumah peradaban 9/1/25
Komentar
Posting Komentar