Langsung ke konten utama

Apakah Benar Hidup Hanya Sekumpulan Rutinitas




Woko Utoro

Saya pernah ditanya seperti judul tulisan ini, apakah hidup hanya sekumpulan rutinitas. Saya tentu menjawab iya dengan beberapa alasan. Akan tetapi satu di antara teman kami tidak setuju dengan alasan hidup ini berkembang, tumbuh dan berubah. Mungkin pernyataan tersebut benar. Tapi pernyataan saya pun tidak berarti salah. Saya akan tunjukkan rasionalisasinya.

Bahwa hidup hanya sekumpulan rutinitas adalah perspektif psikologi terutama Freud dengan struktur kepribadian id, ego, superego. Bagi Freud struktur kepribadian itu dikontrol oleh tingkat kesadaran. Sedangkan rutinitas dibentuk berdasarkan basic insting yang dimiliki manusia. Terutama insting untuk memenuhi kebutuhan hidup. Anda mungkin tahu bahwa insting manusia yaitu berkaitan dengan makan, seks dan kebutuhan untuk bertindak serta memutuskan.

Tentu kita juga tahu bahwa kebutuhan tersebut dapat dipenuhi hanya dengan melakukan serangkaian aktivitas. Jika ingin kaya maka bekerja dan jika ingin pintar harus belajar. Aktivitas itulah yang dilakukan dalam bingkai rutinitas. Dan siapa yang bisa menghindar dari rutinitas harian tersebut.

Dalam tataran psikologi rutinitas dibentuk berdasarkan kebutuhan tentu di Islam pun dikenal dengan istilah kebutuhan lahiriah. KH Haris Shodaqoh menjelaskan hal itu berdasarkan surah Al An'am ayat 32 ada istilah la'ibun wa lahwun. Dua kata itu berarti hidup hanyalah permainan dan senda gurau. Menurut tafsir al Qurtuby dijelaskan bahwa permainan dibagi dua yaitu permainan dalam arti seperti anak-anak dan permainan dalam hati.

Permainan dalam arti lahiriah percis seperti anak-anak yang membutuhkan hiburan. Waktunya amat terbatas akan tetapi setiap manusia menyukainya. Karena bagi Johan Huizinga manusia memang tergolong homo ludens atau menyukai permainan dan bermain. Lantas apa hubungannya dengan rutinitas. Sederhana saja bahwa permainan dan senda gurau diibaratkan rutinitas yang diulang-ulang tiap hari. Seperti halnya kebutuhan manusia yang harus dipenuhi tiap hari.

Kita belajar bahwa kebutuhan manusia itu sebenarnya hanya butuh sedikit saja. Akan tetapi kita terjebak dalam makna lahiriah yaitu rutinitas. Bayangkan saja manusia sebenarnya hanya butuh sepiring nasi untuk makan. Akan tetapi manusia justru terjebak kerja keras siang malam sampai lupa waktu. Bahkan manusia lebih mudah menggadaikan permainan dalam hati yang lebih bersifat rohani.

Di sinilah kita harus memahami bahwa ada yang lebih penting dari sekadar candaan, gurauan dalam makna lahiriah yaitu dimensi rohani alias batin. Dimensi yang jarang manusia perhatikan kecuali sibuk menghias lahiriah. Maka dari itu agar tidak melulu rutinitas kita harus punya strategi bagaimana agar dimensi batin juga terpenuhi. Yaitu dengan cara beribadah kepadaNya. Sungguh hidup esensinya adalah menghamba kepadaNya.

the woks institute l rumah peradaban 25/1/25

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Zakat Sebagai Sarana Ritual dan Kesehatan

Woks Secara bahasa zakat berarti suci, berkembang, dan berkah. Dalam istilah fikih zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kepemilikan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya dengan aturan syariat. Dalam agama apapun zakat telah disyariatkan walaupun cara dan subjek wajib zakatnya sedikit berbeda. (Syahruddin, 2014:73) Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, zakat baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah walau dalam al Qur'an telah dijelaskan sebelum Islam datang, umat-umat terdahulu juga telah mengenal zakat. Setiap Nabi memiliki cara zakatnya tersendiri seperti zaman Nabi Musa yang memerintahkan menzakati hewan ternak seperti unta, kambing dan lembu. Bahkan Nabi Musa juga pernah meminta agar Qorun mengeluarkan zakatnya. Zaman Nabi Isa pun tak jauh berbeda yaitu meminta orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan zakatnya kepada yang miskin. Saat ini kita masih mengikuti syariat zakat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan penje...