Woko Utoro
Dalam acara Halaqoh Nawaning II di Surabaya, Ning Alissa Qotrunnada Munawwarah atau biasa disapa Ning Alissa Wahid. Menceritakan banyak hal seputar mengapa kasus kekerasan seksual, bullying dan ketimpangan gender masih sering terjadi di pesantren. Padahal seperti kita ketahui pesantren merupakan wadah di mana tradisi dan budaya Islam disemai.
Kata Ning Alissa, jika kasus tersebut masih terjadi maka yang perlu kita lakukan adalah mengubah cara pandang. Terutama cara berpikir pengasuh dan santri harus berpusat pada nilai keadilan dan inklusivitas. Terutama bagi perempuan mereka juga perlu untuk diberikan peran. Sehingga santri putri tidak melalu di bagian belakang tapi juga saatnya tampil.
Sedangkan KH. Husein Muhammad atau Buya Husein menegaskan bahwa kekerasan seksual terjadi di pesantren akibat ketimpangan kekuasaan. Karena ada kekuasaan yang lebih besar maka prinsip ortodoksi masih sering melegitimasi kebenaran. Sehingga bagi person yang lemah akan kalah dan terpinggirkan. Di sinilah pentingnya kita untuk menerapkan pembelajaran sistem dialog dan bukan doktrinal.
Selain itu menghormati hak-hak juga penting sebagai bagian dari kesetaraan. Kita juga perlu mengkaji ulang teks-teks keagamaan yang berpedoman pada akhlak mulia. Termasuk melihat relasi antara tawadhu, hormat dan taat sebagai etika bersama. Selain itu pendirian akan women crisis center (wcc) juga diperlukan untuk wadah pengaduan jika sewaktu-waktu ada kasus serupa.
Inilah barangkali yang menjadi catatan bersama bahwa pesantren harus jadi percontohan keteladanan. Bukan justru sebaliknya kebal hukum karena menyembunyikan kasus-kasus diskriminasi dll. Pesantren harus jadi motor penggerak lembaga pendidikan yang ramah gender. Jika bukan pesantren lantas siapa lagi yang akan peduli terhadap isu ini?
the woks institute l rumah peradaban 15/1/25
Komentar
Posting Komentar