Langsung ke konten utama

Siksa Terberat Adalah Dingin




Woko Utoro 

Sejak dulu orang sudah paham bahwa siksa selalu identik dengan api, panas dan tajam. Dalam tradisi agama-agama pun meyakini bahwa neraka selalu identik siksaan pembakaran, pemotongan, penggilasan, penusukan hingga peleburan. Jarang kita mendengar siksa berkonotasi pada dingin misalnya dibekukan, dihempaskan, hingga ditenggelamkan dll.

Entah mungkin sejak dulu siksa selalu identik dengan kengerian dan ketakutan. Bahkan siksa selalu berhadapan dengan kata bengis, raja tega dan tak berperikemanusiaan. Mengapa siksa jarang menyebut kata dingin. Padahal dingin lebih memilukan daripada panas atau membakar.

Siksa api misalnya paling hanya menyentuh kulit atau fisik. Sedangkan jika dingin dapat menembus sumsum. Dingin juga bisa dimaknai melukai dimensi dalam. Dingin dalam dimensi sosial bermakna diabaikan. Coba anda bayangkan bagaimana rasanya diabaikan. Menurut anak-anak muda diabaikan itu terasa sangat sakit. Mungkin fisik biasa saja tapi hati seperti tertusuk duri.

Dalam hal ini di akhirat ada kenikmatan tertinggi yaitu bersua Allah SWT. Sebuah kenikmatan yang melebihi seisi surga. Anda mungkin tahu bagaimana mungkin bisa menikmati isi surga sedangkan tuan rumahnya tidak mempersilahkan. Bagaimana bisa jenak hidup di surga jika Allah SWT sang maha pengasih tidak memperkenankan. Maka dari itu surga tak ada artinya jika Allah SWT tidak meridhoi.

Rasa diabaikan oleh Allah SWT lebih sakit dari sekadar siksa neraka. Karena bagaimana pun juga neraka dan surga adalah mahluk. Sedangkan Allah SWT adalah segalanya. Bukankah hidup ini diperintahkan hanya untuk beribadah kepadanya. Walaupun ibadah kita sebenarnya tidak berarti apa-apa.

Terakhir bahwa siksa paling tidak mengenakan adalah ketika hampa dicampakkan oleh Tuhanya. Karena sikap dingin Allah SWT kepada kita hamba adalah hal yang tak diinginkan. Jika Allah SWT berpaling dari kita lantas kepada siapa lagi jiwa ingin pergi menghadap. Maka dari itu maksiat kita di dunia lebih sakit bukan karena dibalas oleh api neraka melainkan sikap dingin Allah SWT yang tak sudi menemui. 

Benarlah jika Rabiah Adawiyah berkata, "Jika aku beribadah semata karena menginginkan surga maka bakar saja. Jika aku beribadah hanya takut siksa neraka maka padamkan saja apinya. Sungguh aku beribadah hanya karena cinta padaMu".

the woks institute l rumah peradaban 30/1/25

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 II

Woko Utoro Dalam setiap perlombaan apapun itu pasti ada komentar atau catatan khusus dari dewan juri. Tak terkecuali dalam perlombaan menulis dan catatan tersebut dalam rangka merawat kembali motivasi, memberi support dan mendorong untuk belajar serta jangan berpuas diri.  Adapun catatan dalam perlombaan esai Milad Formasik 14 ini yaitu : Secara global tulisan mayoritas peserta itu sudah bagus. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Terutama soal ketentuan yang ditetapkan oleh panitia. Rerata peserta mungkin lupa atau saking exited nya sampai ada beberapa yang typo atau kurang memperhatikan tanda baca, paragraf yang gemuk, penggunaan rujukan yang kurang tepat dll. Ada yang menggunakan doble rujukan sama seperti ibid dan op. cit dll.  Ada juga yang setiap paragrafnya langsung berisi "dapat diambil kesimpulan". Kata-kata kesimpulan lebih baik dihindari kecuali menjadi bagian akhir tulisan. Selanjutnya ada juga yang antar paragraf nya kurang sinkron. Se...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 I

Woko Utoro Senang dan bahagia saya kembali diminta menjadi juri dalam perlombaan esai. Kebetulan lomba esai tersebut dalam rangka menyambut Milad Formasik ke-14 tahun. Waktu memang bergulir begitu cepat tapi inovasi, kreasi dan produktivitas harus juga dilestarikan. Maka lomba esai ini merupakan tradisi akademik yang perlu terus dijaga nyala apinya.  Perasaan senang saya tentu ada banyak hal yang melatarbelakangi. Setidaknya selain jumlah peserta yang makin meningkat juga tak kalah kerennya tulisan mereka begitu progresif. Saya tentu antusias untuk menilainya walaupun disergap kebingungan karena terlalu banyak tulisan yang bagus. Setidaknya hal tersebut membuat dahaga ekspektasi saya terobati. Karena dulu saat saya masih kuliah mencari esais itu tidak mudah. Dulu para esais mengikuti lomba masih terhitung jari bahkan membuat acara lomba esai saja belum bisa terlaksana. Baru di era ini kegiatan lomba esai terselenggara dengan baik.  Mungkin ke depannya lomba kepenul...