Woko Utoro
Sekitar pukul 5 sore pesan WhatsApp berbunyi ramai. Setelah saya buka ternyata berisi pesan lelayu dari salah satu teman kelas kami karena ayahnya baru saja berpulang. Beliau adalah Pak Malik, ayah dari saudara Hammam Defa Setiawan sekaligus mertua dari saudari Latifatul Atiqah.
Pak Malik sudah kami kenal sejak tahun 2015. Saat itu kami adalah mahasiswa baru di jurusan Tasawuf Psikoterapi IAIN sekarang UIN SATU Tulungagung. Kami sering main ke rumah beliau di Perum Bumi Mas Tunggulsari Tulungagung. Di sanalah kami berkenalan dan sekaligus numpang makan.
Ketika mendengar kabar beliau berpulang sebenarnya antara kaget dan biasa saja. Biasa karena beliau sejak lama sudah sering sakit dan RS adalah seperti kawan. Sedangkan kaget karena memang beliau sehat-sehat saja. Bahkan beberapa waktu saya masih bertemu beliau mengendarai motor scopy merahnya.
Pak Malik memang sudah lama ditopang oleh alat-alat medis seperti jantung diring dll. Tapi lucunya beliau perokok berat. Padahal beliau adalah seorang Muhammadiyah tulen. Bahkan menurut Defa putra sulungnya sang ayah sudah menjadi muadzin di Masjid Al Fattah Kepatihan selama 35 tahun. Waktu yang terbilang lama bagi seorang hamba dalam pengabdian agamanya.
Adapun kronologi meninggalnya sangat sederhana yaitu setelah adzan Dzuhur lalu shalat. Setelah itu pulang ke rumah dan langsung tidur. Dari tidur itulah beliau tidak lagi sadar hingga akhirnya berita kematian beredar. Di sinilah Defa yang sedang di luar kota langsung pulang menuju rumah. Tapi hikmahnya unik, Pak Malik berpulang saat anak-anak berada di rumah. Salah satunya Rama yang baru pulang dari Jepang dan Hafidz adik kecilnya.
Dari Pak Malik saya sebenarnya belajar tentang dua hal yaitu taqwanya kepada Allah SWT dan kesederhanaannya. Menurut cerita putra-putranya Pak Malik adalah sosok yang bersahaja. Bahkan pendapatnya tentang kematian adalah hal yang tak perlu ditakuti. Beliau yang sedang sakit tapi tetap santai merokok dan semua seolah biasa saja. Di sinilah uniknya seorang muadzin Muhammadiyah tapi perokok berat percis Prof Malik Fajar dan AR Fahruddin.
Dari prinsip kematian, Pak Malik seolah telah bersiap. Beliau seolah telah pasrah jika semua terjadi. Dan benar saja semua proses itu seolah berjalan begitu mulus. Kecintaan beliau pada adzan tentu menjadi karakter tersendiri. Beliau disiplin dan seolah seruan illahi tersebut harus terus berkumandang.
Saya melihat jika Pak Malik mewarisi karakter sufisme Muhamadiyah. Sebuah karakter sufistik yang diperoleh dari penempuhan organisasi. Sebuah jalan tanpa memerlukan baiat pada guru tertentu. Akan tetapi beliau menghayati esensi kehidupan yang fana ini. Tapi beliau memenangkan pertandingan melawan dunia dengan kesahajaannya.
Pak Malik itu sederhana, menerima apa adanya kata Defa putranya. Hal itulah yang ia kenang dari sosok ayahnya yang memang berkepribadian antik. Hingga ketika tahu ayahnya pergi ia tidak perlu menangis dan bahkan hanya menimbulkan tanya, "Kok bisa ya". Demikianlah sosok Pak Malik yang bisa kita petik hikmahnya. Hal yang unik lagi dari seorang Muhammadiyah itu adalah beliau berpesan agar selama 7 harinya minta ditahlilkan seperti halnya orang NU. Ya Allah Pak Malik, swargi langgeng. Lahul Fatihah.
the woks institute l rumah peradaban 5/5/25
Komentar
Posting Komentar