Langsung ke konten utama

Kognitif Closure




Woko Utoro 

Kita pasti baru sadar mengapa pesan sabar selalu diulang-ulang. Seolah ada pesan khusus terlebih untuk menghadapi suatu masalah. Terutama di era modern kesabaran harus ditanam sejak dini. Bahasa anekdot nya kesabaran kini harus sudah di tingkat dewa. Karena di era globalisasi kesabaran adalah kunci dalam menghadapi setiap perubahan.

Salah satu ujian orang soal kesabaran adalah ketika melihat fenomena di media sosial. Di medsos kita tahu semua serba cepat dan instan. Seolah kesabaran tak memiliki tempat yang layak. Orang selalu merasa terburu-buru dalam menyimpulkan. Dalam hal apapun orang selalu ingin jawaban. Padahal segala sesuatu itu melewati berbagai proses.

Di sinilah kita kenal istilah kognitif closure atau kecenderungan untuk menyimpulkan. Atas dasar kepuasan akibat kecepatan algoritma maka orang mudah menilai. Kecenderungan tersebut lambat laun membunuh daya kritis. Upaya kroscek, verifikasi atau saring sebelum sharing menjadi tidak diperlukan. Karena orang sudah dikuasi oleh ambisi pengetahuannya. Orang merasa takut untuk kehilangan informasi selanjutnya.

Mereka merasa mengerti banyak padahal hanya sedikit saja yang diketahui. Tapi di media sosial orang merasa paling kaya pengetahuan. Sehingga apa saja bisa dikomentari bahkan memberi label. Atau ketimpangan berpikir itulah orang merasa benar dalam menilai. Padahal apa yang mereka lakukan adalah upaya bunuh diri. Pengetahuan tidak lagi penting demi sebuah kepuasan di ujung jari.

Maka dari itu di medsos keadaannya makin mengkhawatirkan. Sebab sedikit saja orang yang masih sabar dan bijak dalam menghadapi problematika. Kita sebenarnya membutuhkan upaya agar kesabaran tetap hidup. Di era serba cepat tidak boleh rasa ingin tahu dibalut dengan ambisi atau emosi. Terlebih mudah menghakimi atas apa yang kita lihat secara parsial. Ingat bahwa medsos selalu hadir dengan tidak utuh. Maka sebaiknya kita perlu kritis dalam melihat permasalahan terlebih jangan segera menuntut jawab. Karena tidak semua hal harus memiliki jawaban terlebih lagi jangan mudah menyimpulkan jika pengetahuan kita hanya "katanya".[]

the woks institute l rumah peradaban 28/5/25

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Zakat Sebagai Sarana Ritual dan Kesehatan

Woks Secara bahasa zakat berarti suci, berkembang, dan berkah. Dalam istilah fikih zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kepemilikan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya dengan aturan syariat. Dalam agama apapun zakat telah disyariatkan walaupun cara dan subjek wajib zakatnya sedikit berbeda. (Syahruddin, 2014:73) Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, zakat baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah walau dalam al Qur'an telah dijelaskan sebelum Islam datang, umat-umat terdahulu juga telah mengenal zakat. Setiap Nabi memiliki cara zakatnya tersendiri seperti zaman Nabi Musa yang memerintahkan menzakati hewan ternak seperti unta, kambing dan lembu. Bahkan Nabi Musa juga pernah meminta agar Qorun mengeluarkan zakatnya. Zaman Nabi Isa pun tak jauh berbeda yaitu meminta orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan zakatnya kepada yang miskin. Saat ini kita masih mengikuti syariat zakat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan penje...