Langsung ke konten utama

Jangan Ada Kata Unggul Untuk Lembaga Pendidikan






Woko Utoro 

Beberapa orang sanksi dengan kata unggul terutama yang disematkan pada lembaga pendidikan. Begitu pun saya seolah merasa ada yang tidak tepat dengan kata itu. Awalnya mungkin terasa keren tapi lebih jauh ternyata bermasalah. Kata unggul ternyata problematik.

Gus Baha misalnya merasa kurang sreg dengan kata unggulan dalam sekolah atau pondok pesantren. Bagi Gus Baha kata unggul di lembaga pendidikan itu jadi lucu. Mengapa? karena unggul itu hanya orientasi mendapat. Setelah mendapat orang cenderung berharap. Sedangkan dalam tradisi tasawuf berharap pada mahluk itu berbahaya. 

Kata Gus Baha jika ada sekolah unggul lalu melahirkan siswa yang prestasi semua maka kecenderungannya akan diberi penghargaan, sebut saja beasiswa. Dari itulah akhirnya mereka hanya berharap pemberian pemerintah. Padahal seharusnya mereka memberi sesuatu buat negara bukan berharap.

Mbah Nun juga demikian. Kata beliau orang mengatakan unggulan atau super itu sangat tidak sopan. Karya apapun yang melekat pada mahluk tidak pantas menyandang kata super, unggul atau luar biasa. Suatu yang super, unggul dan luar biasa hanya milik Allah SWT. Dalam konteks lembaga pendidikan seharusnya jika pun ada yang berkata unggul itu juga harus dari orang lain. Bukan dilabeli oleh diri sendiri. Jika kita melabeli sendiri suatu lembaga pendidikan dengan kata unggulan maka itu bukan instansi melainkan perdagangan. Kata Mbah Nun, seharusnya kata unggul itu disematkan oleh orang lain. Biarkan orang menilai atas apa yang jadi capaian bukan justru membungkus tipuan dengan gaya baru.

Di sinilah kita belajar bahwa output dunia pendidikan bukan agar anak jadi pintar. Tapi bagaimana mereka berdaulat atas dirinya. Bagaimana anak mengerti akan potensi dirinya. Bagaimana anak paham mengenai moralitas yang berlaku. Serta bagaimana anak menghayati lingkungan sekitarnya dengan tanpa menghakimi. Itulah esensi pendidikan di mana antara ucapan, pikiran dan laku harus selaras. 

Pendidikan itu bukan tentang kesempurnaan tapi bagaimana kekurangan yang diakui. Inilah pentingnya bahwa kekurangan dalam balutan kejujuran lebih berharga daripada unggul tapi busuk atau sekadar citra.[]

the woks institute l rumah peradaban 27/5/25 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Zakat Sebagai Sarana Ritual dan Kesehatan

Woks Secara bahasa zakat berarti suci, berkembang, dan berkah. Dalam istilah fikih zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kepemilikan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya dengan aturan syariat. Dalam agama apapun zakat telah disyariatkan walaupun cara dan subjek wajib zakatnya sedikit berbeda. (Syahruddin, 2014:73) Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, zakat baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah walau dalam al Qur'an telah dijelaskan sebelum Islam datang, umat-umat terdahulu juga telah mengenal zakat. Setiap Nabi memiliki cara zakatnya tersendiri seperti zaman Nabi Musa yang memerintahkan menzakati hewan ternak seperti unta, kambing dan lembu. Bahkan Nabi Musa juga pernah meminta agar Qorun mengeluarkan zakatnya. Zaman Nabi Isa pun tak jauh berbeda yaitu meminta orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan zakatnya kepada yang miskin. Saat ini kita masih mengikuti syariat zakat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan penje...