Woko Utoro
Malam Minggu saya berbincang dengan Mr Ferry dari Solo. Dalam perbincangan itu kami menyinggung bola dan pusaran mafia. Kami bicara tentang degradasinya PSS Sleman padahal di pertandingan akhirnya mereka menang. Tapi justru Semen Padang lah yang bertahan karena juga sama-sama menang atas lawannya.
Kata Mr Ferry bisa saja kemenangan atau kekalahan itu terindikasi mafia. Sederhana saja semua pertandingan bisa dilihat dari cara main. Atau dari tujuan apa yang ingin hendak dicari. Intinya kata Mr Ferry semua hal terutama di Indonesia bisa dibeli atau dipermainkan. Beliau juga berseloroh bahwa dalam hal apapun bisa terdapat mafia bahkan di kontestasi Pilpres sekalipun.
Atas apa yang dikisahkan Mr Ferry tersebut saya pun langsung berpikir terbang melayang. Mungkin bisa jadi benar bahwa selama ini kita hanya konsumen yang tak tahu apa-apa di belakang layar. Kita hanya tahu pertandingan sepakbola adalah soal kemampuan, teknik dan upaya cetak gol. Tapi ternyata bisa jadi di dunia si kulit bundar perjudian selalu ada. Sepakbola tidak selamanya indah dengan gol-gol spektakuler. Justru sebaliknya sepakbola hanyalah alat meraup keuntungan.
Soal untung rugi kita jadi ingat obituari dari Sulak alias AS Laksana atas sahabatnya yang meninggal yaitu Harry Wibowo (HarWib). Kata AS Laksana, HarWib mengidamkan Indonesia itu serupa Barcelona ketika mengalahkan Real Madrid dalam setiap kompetisi. Bagi HarWib kemenangan Barcelona atas dominasi Real Madrid adalah seperti kemenangan rakyat dengan oligarki.
Seperti kita tahu di Indonesia ini seolah sulit untuk maju. Karena semua sudah tahu jika negeri ini kesulitan keluar dari cengkeraman oligarki, para pemilik modal besar dan pastinya menguasai segala sektor ekonomi. Bahkan menentukan siapa menang dan kalah adalah pekerjaan mudah. Sehingga tidak aneh jika suara bisa dibeli, hukum bisa ditawar dan jabatan mudah tergadai.
Bagi HarWib Barca adalah simbol dari rakyat yang selalu terpinggirkan. Sedangkan Real Madrid adalah simbol superioritas pemilik modal besar, kapitalis dan pastinya oligarki di tubuh sepakbola. Real Madrid akan melalukan apapun demi kemenangan tim sekalipun harus bakar uang. Tapi beda dengan Barca yang melakukan penetrasi melalui jalur perlawanan dan kekompakan. Terbukti dalam pentas Eropa maupun liga domestik Barca memenangkannya. Dalam bahasa Suara Chinoll, Barca adalah tim kelaparan yang dimiliki banyak orang.
Lantas bagaimana kita membaca hasil final UCL 2025 semalam di Munich. Apakah kita menduga ada mafia yang bermain di sana terlebih PSG juara dan skornya fantastis yaitu 5-0. Tentu kita bertanya bagaimana mungkin Inter Milan dibantai habis tanpa mampu membalas. Bukankah tim yang baru saja rapuh biasanya akan ngamuk. Ada pola semacam kebangkitan bertubi-tubi. Tapi melihat pertandingan semalam seolah kita menyaksikan drama kebohongan.
Apakah memang karena PSG adalah tim kuat sekaligus belum pernah juara UCL. Atau memang karena Inter Milan menyerah saja demi segepok uang. Tentu kita tidak tahu di balik layar seperti apa. Yang jelas final UCL 2025 paling tidak asyik ditonton. Lebih lagi Inter Milan seperti kehilangan arah. Inter Milan seolah loyo dengan tanpa misi untuk menang. Seolah tim Italia itu harus menyerahkan gelar UCL kepada tim kaya dengan cuma-cuma.
Kekalahan Inter Milan atas PSG tentu membuat penonton kecewa. Jika kekalahan di UCL dengan skor tipis mungkin beda cerita. Tapi final UCL kali ini menjadi pembantaian paling memalukan. Padahal kita berharap tim kaya dengan modal besar yang pernah mendatangkan Messi, Neymar dan Mbappe itu minimal bisa dikendalikan dengan skor tipis saja. Tapi inilah sepakbola dan apapun bisa terjadi.
Dari harapan, tontonan serta dugaan terhadap mafia ternyata ada satu kejadian mengharukan yaitu Louis Enrique tak lain pelatih PSG. Dalam momen kemenangan itu Enrique mengingatkan kembali Xana Martinez yaitu putri kecilnya yang meninggal pada tahun 2019 atau 5 tahun setelah Barca memenangkan UCL tahun 2015.
Dari kisah itulah supporter PSG membentangkan tifo bergambar Xana dan Enrique sedang menancapkan bendera. Momen itulah yang akan dikenang bahwa sepakbola bukan sekadar olahraga, bukan sekadar cetak gol atau menang kalah. Tapi juga tentang arti memberi nilai pada kenangan dan kehilangan. Di sinilah kita belajar bahwa di balik kedigdayaan PSG atau satu kerapuhan seorang ayah yang ditinggal pergi putri kecilnya.[]
the woks institute l rumah peradaban 1/6/25
Luarr biasa
BalasHapus