Langsung ke konten utama

Melawan Dengan Bacaan Konvensional





Woko Utoro

Hampir beberapa bulan sejak pekerjaan berbasis media sosial bergulir tradisi membaca saya bergeser. Dulu saya berasyik ria bersama buku bahkan bisa lupa waktu. Saking asyiknya tak terasa buku-buku milik pribadi maupun hadiah dari orang sudah habis di khatamkan. Tapi kini sudah berbeda, saya justru hanya mampu membaca di media online.

Saat ini saya hanya mampu membaca 3-5 artikel di website setiap hari. Walaupun tidak semaniak dulu dengan buku cetak setidaknya saya tidak kehilangan tradisi membaca. Lambat laun tradisi membaca online saya rasakan perbedaannya. Hal itu sama dengan menulis di buku atau di smartphone dengan aplikasi note-nya.

Jika menulis di note smartphone kita mungkin bisa menangkap ide lebih cepat. Tapi sayang ide pun hilangnya lebih cepat. Termasuk kesulitan untuk meneruskan ide alias stug juga hal yang saya rasakan. Menulis di note smartphone tidak membuat kita berdaya ingat kuat. Karena ide hanya mampir sejenak di otak lalu hilang dan akan terus lupa saat ditanya menulis apa kemarin.

Berbeda dengan menulis di buku. Menulis di buku sama dengan memahat di otak. Jangkauannya lebih luas, ide segar terus dan pastinya lebih tahan lama. Ide mudah didapat dan kita jauh dari sifat pikun. Saya pernah dengar bahwa menulis di buku itu terhubung dengan otak karena kita memfungsikan jemari menggerakkan pena. Hal ini pun bertalian dengan membaca.

Saat saya mudah bingung, kosong dan miskin ide padahal bacaan saya di internet terbilang melimpah. Saya justru berpikir apakah ada yang salah dengan tradisi membaca di internet. Dari sanalah saya pun mencari akar permasalahannya. Diam-diam saya pun menemukan bahwa ini bukan soal internet tapi layar smartphone.

Mungkin karena layar smartphone memiliki paparan radiasi maka efeknya kita mudah mumet alias kelimpungan. Ya, ternyata berlama-lama di depan gawai justru tidak membuat kita pintar. Justru sebaliknya hanya membuat mata kita rusak secara perlahan. Mungkin benar kita mendapat ide atau informasi yang berlimpah tapi tak ada satupun yang bertranmisi menjadi tulisan. Semua seperti omong kosong belaka.

Dalam hal ini saya jadi ingat pesan Prof Mujamil bahwa di dunia kelimpahan ide dari internet kita justru semakin bodoh. Saya pun menemukan jika berlama-lama di media sosial otak semakin tumpul. Padahal di medsos itu kita tidak sekadar scrolling, atau mencari hiburan belaka melainkan membaca. Lantas apa yang saya lakukan ketika toxic ini muncul?

Saya mencoba melawan sekuat mungkin dengan kembali membaca buku konvensional. Dengan membaca itu alhmdulillah terasa langsung dampaknya. Secara fisik tentu penglihatan lebih aman dan tidak mudah lelah. Sedangkan pikiran dan perasaan pun terasa padu. Terlebih ditopang dengan buku bacaan yang berkualitas. Tapi karena ini proses memulai kembali maka saya membaca buku-buku ringan. Yang jelas membaca buku cetak bukan buku digital.

Terakhir dengan kembali membaca buku cetak setidaknya saya melawan dunia yang serba cepat ini secara perlahan. Dengan tradisi membaca buku cetak saya memperlambat dunia dari nafsu sesaat. Saya juga bisa menikmati waktu dengan lebih santai dan berkualitas.[]

the woks institute l rumah peradaban 10/2/25

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 II

Woko Utoro Dalam setiap perlombaan apapun itu pasti ada komentar atau catatan khusus dari dewan juri. Tak terkecuali dalam perlombaan menulis dan catatan tersebut dalam rangka merawat kembali motivasi, memberi support dan mendorong untuk belajar serta jangan berpuas diri.  Adapun catatan dalam perlombaan esai Milad Formasik 14 ini yaitu : Secara global tulisan mayoritas peserta itu sudah bagus. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Terutama soal ketentuan yang ditetapkan oleh panitia. Rerata peserta mungkin lupa atau saking exited nya sampai ada beberapa yang typo atau kurang memperhatikan tanda baca, paragraf yang gemuk, penggunaan rujukan yang kurang tepat dll. Ada yang menggunakan doble rujukan sama seperti ibid dan op. cit dll.  Ada juga yang setiap paragrafnya langsung berisi "dapat diambil kesimpulan". Kata-kata kesimpulan lebih baik dihindari kecuali menjadi bagian akhir tulisan. Selanjutnya ada juga yang antar paragraf nya kurang sinkron. Se...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 I

Woko Utoro Senang dan bahagia saya kembali diminta menjadi juri dalam perlombaan esai. Kebetulan lomba esai tersebut dalam rangka menyambut Milad Formasik ke-14 tahun. Waktu memang bergulir begitu cepat tapi inovasi, kreasi dan produktivitas harus juga dilestarikan. Maka lomba esai ini merupakan tradisi akademik yang perlu terus dijaga nyala apinya.  Perasaan senang saya tentu ada banyak hal yang melatarbelakangi. Setidaknya selain jumlah peserta yang makin meningkat juga tak kalah kerennya tulisan mereka begitu progresif. Saya tentu antusias untuk menilainya walaupun disergap kebingungan karena terlalu banyak tulisan yang bagus. Setidaknya hal tersebut membuat dahaga ekspektasi saya terobati. Karena dulu saat saya masih kuliah mencari esais itu tidak mudah. Dulu para esais mengikuti lomba masih terhitung jari bahkan membuat acara lomba esai saja belum bisa terlaksana. Baru di era ini kegiatan lomba esai terselenggara dengan baik.  Mungkin ke depannya lomba kepenul...