Woko Utoro
Sudah beberapa kali kita saksikan kekuasaan selalu takut dengan seni. Saking takutnya kekuasaan pada seni maka pembredelan menjadi tindakannya. Ketakutan kekuasaan dalam hal ini pemerintah menjalar seolah tak pernah reda. Korbannya sudah banyak terjadi pada karya lukisan, musik, lagu, tari, patung hingga cuitan. Bahkan kekuasaan kalang kabut jika berhadapan dengan humor.
Sejak dulu negeri ini pun tidak pernah move on terhadap ketakutan kepada seni. Misalnya pelarangan karya Pramoedya Ananta Toer, bui pada lagu Iwan Fals dan yang terbaru yaitu lukisan Yos Suprapto, Tikus Garuda karya Rokhyat hingga Bayar-bayar ala Sukatani. Bagi penguasa karya seni tersebut berbahaya dan harus diamankan. Termasuk juga bagi masyarakat diminta untuk tidak kritis.
Sebenarnya ketakutan tersebut juga dipengaruhi oleh politik ala kolonial. Di mana masyarakat tidak boleh kritis terhadap kekuasaan. Sehingga dari itu seni bagi penguasa adalah ancaman. Hal senada juga disampaikan Gus Dur lewat putrinya Inayah Wahid bahwa seni khususnya humor bisa membusukkan satu rezim. Dengan begitu ruang apresiasi terhadap seni bagi penguasa tak akan pernah terjadi.
Walaupun begitu seni tak pernah baper. Seni selalu menyusup ke segala arah bahkan tak pernah bosan membuat penguasa geram. Seni menjadi alat yang efektif untuk menyampaikan gagasan. Bahkan di era digital seni menjelma banyak hal termasuk tagline no viral no justice yang begitu tajam.
Sebenarnya seni dalam bentuk apapun bersifat serbaguna. Seni bisa menjadi indah bagi para pecinta dan bisa jadi senjata bagi yang terancam. Maka dari itu seni dalam keadaan apapun tak bisa dibungkam. Seni tidak bisa ditertibkan apalagi dianggap mengusik tidur penguasa. Kata Seno Gumira Ajidarma, seni terkhusus sastra tak bisa dibungkam. Justru seni dan sastra akan lebih lantang ketika dipaksa untuk bungkam.
Begitulah seni bisa menjadi alat perlawanan. Dari seni tersebut kita belajar arti keteguhan, ketabahan dan menikmati keindahan sekaligus melawan karena memang perlu untuk dilawan. Maka dari itu kekuasaan yang lalim tidak perlu diruntuhkan dengan kekuatan otot, cukup tuburkan saja seni. Karena seni ibarat racun, pembunuh bagi kemapanan.[]
the woks institute l rumah peradaban 27/2/25
Komentar
Posting Komentar