Langsung ke konten utama

Menulis : Terpaksa atau Merdeka




Woko Utoro

Saya berulang kali ditanya bagaimana cara melihat kondisi menulis. Artinya bagaimana cara agar kita bisa menulis. Saya tentu jawab sederhana bahwa setiap orang bisa menulis. Bahwa setiap orang itu mampu dan hanya perlu mengkondisikan niat dan tekadnya.

Niat saja tidak cukup, sebab anda perlu mengaktualisasikannya. Tekad saja masih kurang, karena anda harus mempraktekkannya. Jadi sederhana bahwa menulis itu adalah praktikum. Jika ingin jadi penulis anda harus memperbanyak praktek. Tanpa itu semua tulisan tak akan pernah terlahir.

Jangan anggap tulisan jelek atau tidak layak. Kebaikan atau atau kebenaran itu perlu diusahakan. Sedangkan kesempurnaan itu tidak ada. Yang ada adalah proses yang terus diperbaiki dan disempurnakan. Jalanya tak ada lain yaitu belajar, berlatih dan evaluasi.

Soal menulis mari kita belajar pada para pesohor. Misalnya jika menulis perlu ketenangan nyatanya Pram, Buya Hamka hingga Mbah Nun melahirkan tulisan di luar kondisi itu. Kita tahu Pram dan Buya Hamka menulis saat di tahanan dan di pengasingan. Bahkan Bung Karno dan Bung Hatta pun demikian.

Mbah Nun juga berkisah jika dulu menulis itu sulitnya minta ampun. Listrik belum masuk dan alat hanya mesin tik. Mbah Nun pun menulis di manapun dan dalam kondisi apapun. Bahkan Mbah Nun mengenang jika dulu sering menulis sambil ngemong Sabrang dan menerima tamu di rumah ukuran 4x4. Bisa di bayangkan pengapnya dan bagaimana ide berkerja dengan baik. Tapi semua itu terlampaui dengan baik. Bahkan karya Pram lebih dari 50, Buya Hamka 84 dan Mbah Nun lebih dari 70 buku semua diselesaikan dalam keadaan serba kekurangan.

Kata Mbah Nun, kekurangan itu jangan disesali. Karena manusia adalah pemimpin atas dirinya. Maka pimpinlah dan nikmati saja prosesnya. Oleh karena itu Mbah Nun berpesan soal menulis yaitu memilih menulis karena terpaksa atau sebab merdeka.

Mbah Nun mengakui jika dirinya menulis karena dipaksa keadaan. Orang melakukan sesuatu karena dipaksa keadaan lambat laun akan mahir. Itu pun jika dijaga terus bara api semangat nya. Berbeda dengan Pram, jika ia menulis karena merdeka.

Pram menulis berdasarkan kesadaran jika saat itu dunia perlu ditulis. Karena ia meyakini jika perjuangan di tengah penjajahan harus diabadikan dalam tulisan. Dengan begitu dunia akan tahu betapa era lampau ditentukan dengan darah dan pengorbanan. Jadi sederhana saja kita bisa tentukan menulis karena terpaksa, dipaksa atau merdeka.[]

the woks institute l rumah peradaban 13/2/25

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Zakat Sebagai Sarana Ritual dan Kesehatan

Woks Secara bahasa zakat berarti suci, berkembang, dan berkah. Dalam istilah fikih zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kepemilikan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya dengan aturan syariat. Dalam agama apapun zakat telah disyariatkan walaupun cara dan subjek wajib zakatnya sedikit berbeda. (Syahruddin, 2014:73) Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, zakat baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah walau dalam al Qur'an telah dijelaskan sebelum Islam datang, umat-umat terdahulu juga telah mengenal zakat. Setiap Nabi memiliki cara zakatnya tersendiri seperti zaman Nabi Musa yang memerintahkan menzakati hewan ternak seperti unta, kambing dan lembu. Bahkan Nabi Musa juga pernah meminta agar Qorun mengeluarkan zakatnya. Zaman Nabi Isa pun tak jauh berbeda yaitu meminta orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan zakatnya kepada yang miskin. Saat ini kita masih mengikuti syariat zakat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan penje...