Langsung ke konten utama

Membersamai Sang Waktu Dengan Membaca




Woko Utoro

Dunia kini berkembang begitu cepat. Teknologi lahir super cepat dan tersebar pesat. Akibatnya perubahan di sana-sini terjadi dan tak terkendali. Kehidupan pun tak kuasa menahan laju dari kecepatan tersebut. Tak terasa kehidupan kita pun seperti berpacu dengan waktu. Hidup terasa tergesa-gesa dan entah apa yang dicari?

Padahal waktu berjalan konstan alias stabil. Waktu begitu sempit karena kita berlari tergesa-gesa. Bisa dibayangkan orang yang takut terlambat masuk kantor rasanya waktu mencekik. Padahal waktu tetap dan hanya mengikuti. Begitu pula waktu terasa luang hanya karena kita telah mempersiapkannya. Bagi orang disiplin waktu adalah ketepatan. Salah satunya waktu bisa dinikmati oleh mereka yang memiliki tradisi membaca.

Dalam urusan membaca pun demikian kini telah banyak berubah akibat digitalisasi nan masif. Dulu kita masih asyik dengan buku, koran dan majalah. Tapi kini semua produk media cetak digantikan bacaan berbasis online. Jika ditanya mengapa orang mudah berpaling tentu jawabannya sederhana. Kini orang lebih memilih hal instan daripada memilih sesuatu yang merepotkan. Sebenarnya ini bukan soal repot atau instan tapi soal strategi dalam menghadapi arus digital.

Jika mau merenung tentu kita membutuhkan kondisi tenang dan santai. Sedangkan tergesa-gesa tak memungkinkan kita untuk merenung. Di media sosial yang serba cepat alih-alih merenung kita justru lebih terjebak. Ya media sosial dengan segenap gemerlap menghegemoni kita untuk candu. Dalam hal membaca kita pun tak mudah sabar dan ingin segera usai. Padahal membaca membutuhkan kemampuan untuk mencerna, menelaah dan mentransmisikan menjadi laku. Maka hanya dengan membaca buku konvensional memungkinkan kita membangkitkan kembali daya kritis dan merenung. Karena di sana kita akan menghargai proses serta jauh dari kata tergesa-gesa.

Membaca dalam arti tradisional lebih kita butuhkan daripada di dunia maya. Dengan membaca itulah kita bisa menilai dunia secara lebih objektif. Kita juga bisa lebih menghargai proses pada tumpukan tinta di sebuah buku. Dengan begitu kita tahu bahwa untuk mengawetkan peradaban adalah memilih hidup tenang bukan tergesa-gesa seperti di media sosial yang serba instan. Membaca buku adalah pilihan untuk mengisi waktu agar lebih berharga.[]

the woks institute l rumah peradaban

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Zakat Sebagai Sarana Ritual dan Kesehatan

Woks Secara bahasa zakat berarti suci, berkembang, dan berkah. Dalam istilah fikih zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kepemilikan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya dengan aturan syariat. Dalam agama apapun zakat telah disyariatkan walaupun cara dan subjek wajib zakatnya sedikit berbeda. (Syahruddin, 2014:73) Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, zakat baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah walau dalam al Qur'an telah dijelaskan sebelum Islam datang, umat-umat terdahulu juga telah mengenal zakat. Setiap Nabi memiliki cara zakatnya tersendiri seperti zaman Nabi Musa yang memerintahkan menzakati hewan ternak seperti unta, kambing dan lembu. Bahkan Nabi Musa juga pernah meminta agar Qorun mengeluarkan zakatnya. Zaman Nabi Isa pun tak jauh berbeda yaitu meminta orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan zakatnya kepada yang miskin. Saat ini kita masih mengikuti syariat zakat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan penje...