Woko Utoro
Sejak dulu saya punya cita-cita memiliki perpustakaan pribadi di rumah. Tentu perpustakaan itu bukan sekadar memajang buku-buku di rak. Tapi saya fungsikan sebagai media bacaan utama. Mungkin ide memiliki perpustakaan tidak semua orang punya. Terlebih bagi orang desa seperti saya.
Lambat laun beberapa buku yang saya kumpulkan sejak tahun 2015 hingga kini ternyata terbilang banyak. Hanya saja saya belum memiliki rak untuk memuliakan buku-buku tersebut. Akhirnya untuk sekadar mengevakuasi saya hanya menumpuknya dalam sebuah kardus. Tapi beberapa sudah saya susun dengan rapi ala perpustakaan.
Hampir setiap hari saya lihat tumpukan buku tersebut. Dan sesekali saat saya butuh dan kangen buku tersebut saya baca. Sampai hari ini tidak terasa satu persatu buku habis saya khataman. Walaupun beberapa kali saya menatap perpustakaan kecil itu dengan kosong. Saya kadang berpikir benar juga tumpukan buku di perpustakaan sekadar sekumpulan tinta yang termuat dalam kertas. Tapi jika dibaca buku itu hidup dan bernyawa.
Beberapa kali saya merasakan manfaat membaca buku. Seperti halnya para bijak berpesan bahwa membaca membuka cakrawala pikiran. Malas membaca dunia tertutup dan gelap. Walaupun begitu saya juga tidak bisa memaksa agar orang lain gemar membaca. Karena bagaimana pun juga membaca buku ibarat mencintai kekasih. Kita tak bisa memaksakan orang untuk cinta apa yang tidak mereka sukai.
Hanya saja jika boleh berpesan saya ingin mengatakan bahwa membaca buku adalah seni berdialog. Jika kita ingin mengetahui betapa dalamnya diri ini maka seringlah membaca. Dengan membaca kita tahu kekurangan diri. Membaca memungkinkan kita berinteraksi dengan pikiran orang lain. Dari sanalah akhirnya dialog terjadi walaupun kadang bisa jadi tidak sepakat, mengkritik hingga mendapat pencerahan. Semua itu bisa kita dapatkan dari membaca.[]
the woks institute l rumah peradaban 2/2/25
Komentar
Posting Komentar