Langsung ke konten utama

Kalah Weton?




Woko Utoro

Saya pernah diperingatkan seseorang jika di Jawa itu kompleks salah satunya perihal jodoh dan kematian. Di Jawa kita kenal istilah weton, neton, neptu dll yang berarti hitungan kelahiran, jodoh, rezeki dan kematian. Demikian lah katanya bahwa di Jawa itu tidak bebas ruang. Bahwa setiap sisi kehidupan Jawa penuh dengan hitung-hitungan mulai soal pertanian, bangun rumah, kelahiran bayi sampai soal jodoh dan kematian.

Bicara soal weton kita tentu tahu sebuah lagu dengan judul "Kalah Weton" karya Mas Kemput STS. Lagu tersebut berkisah tentang asmara dua orang sejoli yang akhirnya kandas karena tak direstui. Orang tua perempuan ternyata sangat Njawa sehingga melarang anaknya meneruskan hubungan ke jenjang pernikahan. Alasannya karena hitungan weton 3 telu dan 8 wolu ternyata tidak bisa bertemu. Jika memaksakan maka kehidupan mereka akan bubrah.

Lantas bagaimana kita menyikapi perkara weton tersebut terutama perihal asmara atau perjodohan. Yang jelas di Jawa itu mengenal istilah jejodoan dan bebojoan. Jika orang sudah bebojoan itu sudah pasti jodo. Sebaliknya jika hanya jodo belum tentu bojo alias bisa terhenti di tengah jalan.

Menyikapi hal itu tergantung kepercayaan kita. Faktanya banyak orang yang wetonnya tidak cocok ternyata langgeng hingga memiliki anak cucu. Tapi tanpa menafikan juga tidak sedikit yang mereka harus kandas karena mispersepsi soal hitungan weton.

Menyikapi weton Mbah Nun berpendapat, bahwa weton hanya sekadar hitungan psikologis dan bebrayan saja. Sehingga weton atau hitungan Jawa itu bukan faktor menentukan berjodoh atau tidak. Bagi Mbah Nun, weton itu dipakai boleh tidak juga tak apa-apa. Karena intinya weton itu bukan tolok ukur utama untuk melebihi takdir Tuhan.

Menurut Mbah Nun, weton itu sebenarnya bisa memungkinkan dua hal yaitu memang tidak jadi atau jadi semua. Jadi sebenarnya weton itu adalah sesuatu yang dikonsepsikan oleh budaya. Dari budaya itulah akhirnya membentuk tradisi kolektif di masyarakat. Terutama di Jawa yang masyarakatnya memiliki tipe pemikiran deduktif alias ilmu titen.

Karena ilmu titen (pengamatan) maka hal itu tidak bisa menjadi patokan utama. Sebenarnya soal weton tersebut bisa dinegosiasi. Hanya saja kadang tradisi kolot mengakar kuat di masyarakat itulah yang tidak bisa dikompromikan. Sehingga konsep kalah weton tersebut terdramatisir secara kolektif dan membudaya. Jika sudah demikian maka kita tak bisa melakukan apapun kecuali antara kedua belah pihak sama-sama saling percaya.

Maka dari itu terakhir kuncinya adalah saling menghormati. Orang yang menghargai dan menghormati weton sebagai tradisi budaya maka hal itu sangat baik. Juga bagi yang tidak percaya dengan hitungan tersebut tak usah pula menjelekkan atau meremehkan. Yang jelas setiap hari atau tanggal diciptakan insyaallah semua dalam keadaan baik.[]

the woks institute l rumah peradaban 18/2/25

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Zakat Sebagai Sarana Ritual dan Kesehatan

Woks Secara bahasa zakat berarti suci, berkembang, dan berkah. Dalam istilah fikih zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kepemilikan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya dengan aturan syariat. Dalam agama apapun zakat telah disyariatkan walaupun cara dan subjek wajib zakatnya sedikit berbeda. (Syahruddin, 2014:73) Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, zakat baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah walau dalam al Qur'an telah dijelaskan sebelum Islam datang, umat-umat terdahulu juga telah mengenal zakat. Setiap Nabi memiliki cara zakatnya tersendiri seperti zaman Nabi Musa yang memerintahkan menzakati hewan ternak seperti unta, kambing dan lembu. Bahkan Nabi Musa juga pernah meminta agar Qorun mengeluarkan zakatnya. Zaman Nabi Isa pun tak jauh berbeda yaitu meminta orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan zakatnya kepada yang miskin. Saat ini kita masih mengikuti syariat zakat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan penje...