Langsung ke konten utama

Pembaca Itu Mahluk Kesepian?




Woko Utoro

Laela S Chudori pernah ditanya mengapa orang di era kini tidak suka membaca buku. Penulis novel "Laut Bercerita" itu menjawab sederhana, karena ada media baru untuk menyalurkan kesepian. Jika dulu orang belum kenal media seperti TV dan internet maka baca buku adalah pilihan utama. Termasuk Laela sendiri yang beruntung sudah diperkenalkan dengan beragam bacaan seperti komik dan majalah.

Apa yang dikatakan Laela S Chudori tersebut mungkin bisa saja benar atau juga salah. Karena apakah mungkin kesepian bisa melahirkan pembaca? Bukankah kesepian hanya sekadar kondisi. Sedangkan membaca bisa dilakukan dalam kondisi apapun bahkan saat dunia tidak berpihak pada aksara.

Apa yang diutarakan Laela S Chudori juga laik kita kupas sebagai renungan. Mungkin bisa saja orang dulu membaca buku sebagai sarana berburu informasi. Sedangkan era kekinian segala informasi berada dalam genggaman. Orang merasa dengan gadget semua produk bacaan tersedia begitu melimpah. Bahkan dalam beragam bentuk seperti audio book hingga audio visual.

Sayangnya ragam informasi itu datang seperti air bah. Deras bahkan bisa menyeret kita yang tidak memiliki tradisi membaca nan ajeg. Di sinilah pentingnya membaca sebagai sarana proteksi diri. Terlebih lagi membaca melatih pikiran untuk tetap kritis. Jika kita tidak membiasakan membaca akibatnya bisa fatal. Terlebih di era medsos segala informasi tersedia dan membutuhkan sikap bijak untuk mencerna.

Jika malas membaca di tengah arus informasi tersebut maka bersiaplah kita mudah dipecahbelah. Terlebih media diciptakan untuk menyentuh emosi manusia agar mudah digiring dan candu. Tapi jika kita selalu membaca maka media hanya sekadar perantara bukan kebutuhan utama. Sedangkan kebutuhan utama itu membaca melalui buku.

Dari sini jelas bahwa membaca itu tradisi kesunyian bukan kesepian. Justru orang yang berlama-lama di media sosial dan abai akan lingkungan sekitar maka fiks mereka adalah mahluk kesepian.[]

the woks institute l rumah peradaban 1/2/25

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Zakat Sebagai Sarana Ritual dan Kesehatan

Woks Secara bahasa zakat berarti suci, berkembang, dan berkah. Dalam istilah fikih zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kepemilikan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya dengan aturan syariat. Dalam agama apapun zakat telah disyariatkan walaupun cara dan subjek wajib zakatnya sedikit berbeda. (Syahruddin, 2014:73) Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, zakat baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah walau dalam al Qur'an telah dijelaskan sebelum Islam datang, umat-umat terdahulu juga telah mengenal zakat. Setiap Nabi memiliki cara zakatnya tersendiri seperti zaman Nabi Musa yang memerintahkan menzakati hewan ternak seperti unta, kambing dan lembu. Bahkan Nabi Musa juga pernah meminta agar Qorun mengeluarkan zakatnya. Zaman Nabi Isa pun tak jauh berbeda yaitu meminta orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan zakatnya kepada yang miskin. Saat ini kita masih mengikuti syariat zakat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan penje...