Langsung ke konten utama

PPHS: Mengisi Haflah dengan Ziarah





Woko Utoro

Pada 2 Februari 2025/3 Sya'ban 1446 H atau tepat di hari Ahad PP Himmatus Salamah Srigading melaksanakan kegiatan ziarah auliya Tulungagung. Acara ziarah ini sebagai pengganti haflah yang biasa dilaksanakan di penghujung. Padahal biasanya haflah menjadi penutup sekaligus kenaikan dalam kegiatan rutinitas ngaji.

Dalam tradisi pesantren penutupan pengajian terjadwal di bulan Rajab sedangkan bulan Sya'ban sudah memasuki masa liburan. Hal itu sebagai upaya untuk mempersiapkan ibadah Ramadhan. Sedangkan pada Ramadhan nya terdapat ngaji pasan atau kilatan.

Haflah tahun ini diisi dengan ziarah dengan alasan efesiensi waktu. Karena banyak dari para santri yang liburan di rumah akhirnya ziarah auliya Tulungagung dipilih. Hingga akhirnya benar saja yang ikut hanya setengah dari jumlah keseluruhan santri. Walaupun demikian tetapi tidak mengurangi momen spesial di acara ini.

Kami berangkat dengan di antara 2 elf dari PPHS menuju makam Mbah Nyai Salamah atau ibu dari Abah Sholeh (Pengasuh PPHS & Rais Syuriyah Ranting NU Plosokandang 2024-2029). Makam Mbah Nyai Salamah terletak di TPU Sumberdadi Sumbergempol. Setelah itu kami langsung menuju ke makam Mbah Agung Singo Taruno alias Mbah Agung. Mbah Agung adalah tokoh di balik berdirinya Desa Plosokandang bahkan Tulungagung.







Menurut riwayat Mbah Agung turut membantu Lembu Peteng dari kejaran Adipati Kalang yang ingin merebut Roro Kembang Sore. Akhirnya dalam sejarah murid Kiai Pacet itu bisa menumpas musuhnya yaitu Kasan Besari dari Tunggulsari. Setelah dari Plosokandang akhirnya kami langsung bertolak menuju makam Mbah Wali Haji Dimyati di Campurdarat atau selatan Pondok Pesantren Madinul Ulum Syeikh Ahmad Badjuri.




Mbah Wali Dimyati atau juga KH Dimyati lahir pada 1875 di Campurdarat Tulungagung. Beliau merupakan muassis Pondok Pesantren Daruttaibin Campurdarat. Nama Dimyati dinisbatkan pada gurunya KH Dimyati Tremas Pacitan. Beliau juga merupakan murid dari Mbah Zainuddin Mojosari dan Syaikhona Kholil Bangkalan.

Setelah dari Campurdarat rombongan langsung menuju ke Bedalem tepatnya ke makam Pangeran Benowo bin Hadiwijaya (Joko Tingkir). Di sinilah perjalanan ziarah kami lumayan memakan energi. Terlebih ketika dari Campurdarat menuju Besuki Besoka jalannya lumayan berbatu. Belum lagi sampai ke makam Bedalem kami harus melalui 112 anak tangga. Tapi akhirnya terlewati juga dan kami bisa berfoto di sini. Dulu mungkin sekitar 6 tahun lalu saya pernah ke Bedalem dan Alhamdulillah kini bisa ke sana lagi. Namun suasananya masih tidak banyak berubah.






Setelah usai dari Bedalem kami langsung menuju tempat selanjutnya yaitu makam Mbah Sunan Kuning atau Syeikh Muhammad Zainal Abidin Macanbang Gondang. Kami bergegas melalui jalur Bandung lewat Pakel dan langsung sampai di tujuan. Di sana kami langsung berziarah memanjatkan doa langsung disambung santap siang. Kebetulan kami belum sarapan dan pastinya makan dengan lahap. Terlebih saya bisa makan dengan sajian kopi hitam gratisan dibelikan Mbah Parlan.






Dari Gondang kami langsung ke makam Srigading Bolorejo tempat Mbah Basyaruddin disemayamkan. Di sini tentu kami berhasil pada sosok panutan sekaligus penasihat Mbah Mangundirono (Bupati Pertama Kadipaten Ngrowo). Dengan gemericik air di sekitar areal makam kami juga merasa puas. Setelah itu langsung menuju utara dekat Pasar Ngemplak yaitu makam Syeikh Hasan Setono Ampel Mangunsari.




Belum ada ulasan khusus mengenai siapa Syeikh Hasan. Yang jelas menurut cerita dari masyarakat beliau masih memiliki hubungan dengan Mbah Abu Manshur Tawangsari. Setelah dari Mangunsari kami langsung ke tempat Mbah KH Raden Hasan Mimbar Majan. Di sini suasana sedikit haru karena baru saja cucu beliau wafat yaitu KH Raden Muhammad Yasin. Soal Mbah Hasan Mimbar ini tentu sudah banyak orang tahu yaitu salah satu sesepuh era Mataram Islam yang berdikari sebagai mufti pada saat itu. Bahkan hingga kini anak keturunannya masih melestarikan ajaran beliau.




Terakhir ziarah kita tutup di makam Mbah KH Raden Abdul Fattah Mangunsari. Ketika kami menujuke sana ternyata di Pondok Menoro tersebut sedang ada acara pernikahan. Akhirnya kami pun langsung menuju sayonara. Akan tetapi di tengah jalan saya bicara pada Mbah Parlan agar mengakhiri perjalanan di makam Mbah Asrori Ibrohim Pondok Panggung.




Akhirnya benar saja kami pun menutup ziarah auliya Tulungagung di makam muassis Pondok Panggung tersebut. Kebetulan di sana juga disemayamkan Mbah Syafi'i Abdurrahman (adik ipar Mbah Asrori) dan Nyai Hj Nurun Nasikhah (istri Mbah Asrori). Perlu diketahui bahwa nasab Mbah Asrofi tersebut bersambung ke Mbah Kiai Abdul Manan Dipomenggolo Babad Tremas Pacitan.

Demikian perjalanan singkat kami. Semoga acara ini membekas di hati dan bisa menjadi ganti atas haflah pondok tahun ini. Semoga esok kita akan berjumpa lagi. Aminn.

the woks institute l rumah peradaban 3/2/25

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Zakat Sebagai Sarana Ritual dan Kesehatan

Woks Secara bahasa zakat berarti suci, berkembang, dan berkah. Dalam istilah fikih zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kepemilikan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya dengan aturan syariat. Dalam agama apapun zakat telah disyariatkan walaupun cara dan subjek wajib zakatnya sedikit berbeda. (Syahruddin, 2014:73) Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, zakat baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah walau dalam al Qur'an telah dijelaskan sebelum Islam datang, umat-umat terdahulu juga telah mengenal zakat. Setiap Nabi memiliki cara zakatnya tersendiri seperti zaman Nabi Musa yang memerintahkan menzakati hewan ternak seperti unta, kambing dan lembu. Bahkan Nabi Musa juga pernah meminta agar Qorun mengeluarkan zakatnya. Zaman Nabi Isa pun tak jauh berbeda yaitu meminta orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan zakatnya kepada yang miskin. Saat ini kita masih mengikuti syariat zakat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan penje...