Langsung ke konten utama

4 Jurus Santri Hadapi Perubahan Global




Woko Utoro

Pada peringatan Hari Santri Nasional kemarin saya bisa hadir di Pesantren Subulussalam Tulungagung. Di sana saya bersama Ustadz Saddad, dan Ustadz Saifulloh membersamai pengasuh dalam upacara HSN 2024. Adapun tema HSN tahun ini adalah, "Menyambung Juang Merengkuh Masa Depan".

Dalam acara upacara tersebut tentu saya fokus pada amanat pembina. Dalam hal ini amanat pembina upacara disampaikan langsung oleh Abah Dr. H. Zainal Abidin Lc., MA. didampingi Bunda Dr. Hj. Salamah Noorhidayati, M. Ag. Kata Abah Zainal setidaknya ada 4 jurus agar santri dapat adaptasi di tengah gempuran zaman.

Pertama, gerakan berakhlak mulia. Gerakan ini harus bahkan wajib ada bagi setiap santri. Karena akhlak adalah hal utama dan membuat seseorang bernilai. Orang yang dianggap bodoh justru lebih baik selama mereka memiliki akhlak. Sebaliknya sekalipun pintar tanpa akhlak justru dianggap rendahan. Akhlak adalah ciri utama yang harus melekat pada diri seorang santri. Karena bagaimana pun juga akhlak adalah makanan harian yang ditanamkan di pesantren.

Kedua, gerakan mempelajari IPTEK. Bagi santri tertinggi soal IPTEK itu tidak boleh. Santri saat ini wajib menguasai IPTEK. Karena mau tidak mau perubahan zaman memaksa kita untuk menguasai peradaban. Jika tidak dikuasai maka santri akan tertinggal. Kita tentu tahu bahwa penguasa dunia yaitu mereka yang menguasai ilmu pengetahuan khusus IT.

Ketiga, gerakan mendalami keilmuan masing-masing di perguruan tinggi. Kata Abah Zainal, bagi mahasantri selain keilmuan pesantren yang tak boleh dilupakan adalah keilmuan di kampus. Santri harus lebih memahami dan mendalami keilmuan jurusannya. Sehingga dengan begitu mereka akan menjadi ahli. Setidaknya untuk mereka sendiri. Karena jika orang sudah menjadi spesialis tentu nilainya jauh lebih tinggi daripada seorang generalis. Bisa dibayangkan dokter spesialis sekali mengecek pasien berapa bayaran yang mereka terima. Tentu angkanya berbeda dengan dokter umum.

Keempat, gerakan cakap sosial. Gerakan ini adalah bagian dari menerapkan akhlak santri di masyarakat. Intinya bahwa masyarakat itu melihat pertama bukan keilmuannya tapi dari sikapnya. Orang baik tidak perlu menyatakan dirinya pintar. Tapi lewat sikap dan keteladanan akan mudah dikenali. Apalagi seorang santri dengan rajin berbaur dengan masyarakat, sopan, santun dan adabnya baik maka mudah diterima. Di sinilah santri tidak boleh kehilangan empati terhadap masyarakat.

Demikian catatan singkat di momen Hari Santri Nasional 2024. Setelah acara usai kami langsung ramah tamah, santap pagi dan mengabadikan momen dengan berfoto.[]

the woks institute l rumah peradaban 26/10/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...