Woko Utoro
Mungkin jika kita menyebut kemunduran umat Islam disebabkan karena pintu-pintu ijtihad tertutup. Barangkali hal demikian terlalu tinggi bagi kita jika ditarik di ranah akademik kampus. Bicara umat Islam tentu lebih kompleks ketimbang bicara kampus ukuran beberapa meter persegi. Dan inilah kenyataan bahwa kampus kita tengah mengalami stagnasi.
Perihal kemajuan dan kemunduran dunia kampus khususnya di Kota Marmer ada analisis menarik yaitu merujuk pada kondisi mahasiswanya. Pertama, menurut Beni Kusuma Wardani (2024) bahwa kemunduran di dunia kampus kemungkinan karena kampus didominasi mahasiswa pekerja.
Kata Beni, dominasi mahasiswa pekerja memungkinkan mereka menarik diri dari lingkungan akademik. Awalnya mungkin terkesan keren karena mahasiswa pekerja dianggap memiliki kelebihan dalam hal kemandirian. Tapi lambat laun kita disuguhkan bahwa mahasiswa tersebut tak lagi ideal.
Bisa dibayangkan mereka nyambi kerja dan kuliah dalam waktu bersamaan. Kerja setidaknya menghabiskan waktu 6-8 jam perhari. Belum lagi mereka akan disibukan dengan tugas, diskusi, mencari literatur hingga waktu istirahat dan ibadah. Itu pun masih dibagi dengan pikiran, energi dan problem lain yang tak terduga. Belum lagi mereka masih berpikir kapan waktu healing dan menyelesaikan tugas tepat waktu.
Jika disimak dari kronologi tersebut rasanya sulit mahasiswa keluar dari jebakan antara fokus kuliah atau memenuhi kebutuhan ekonomi. Jika sudah demikian pasti ada satu yang dominan dan dikorbankan. Soal ini anda akan sangat mengetahui mana yang dikorbankan. Kuliah.
Kedua, salah satu faktor kemunduran dunia akademik di kampus adalah akibat dari wedho'an atau lanangan. Dalam hal ini kita sering menyebut sebagai gendha'an atau pacaran. Analisis ini sederhana yaitu sama-sama memecah kejernihan berpikir. Artinya bahwa mahasiswa akan membagi waktunya soal tugas akademik dan asmara.
Anda tahu mahasiswa baru (maba) yang seharusnya fokus di awal kuliah. Justru disibukan dengan menjadi ojek pacarnya. Mereka akan boncengan bersama. Saling mengantar dan menunggu di kost-an. Bahkan tidak jarang mereka kencan, nongkrong di warkop dan pulang hingga larut malam. Alih-alih kerja kelompok faktanya mereka menikmati momen kebersamaan secara romantis.
Uang jajan dan uang biaya akademik justru dipakai untuk saling mentraktir satu sama lain. Padahal amanat orang tua sederhana yaitu fokus kuliah terlebih dahulu. Jika soal urusan pacar maka nanti juga ada masanya. Ironisnya hal tersebut terjadi pada maba dan terus dilanggengkan hingga kini.
Anda tahu jika perkara pacaran sudah jadi hal biasa maka bersiaplah dunia akademik melemah. Jika alasan mencintai lawan jenis dengan pacaran bisa menguatkan motivasi, saling kerjasama dan meningkatkan iklim akademi. Semua adalah bulshit dan hanya alibi semata. Faktanya aktivitas pacaran tidak bisa mengangkat kondisi akademik jika waktu terus dibagi dengan perkara bucin.
Dunia akademik akan terus hidup justru karena fokus. Tidak menduakan antara waktu belajar dan aktivitas lain di luar pembelajaran. Jadi jelas bahwa kita membutuhkan kondisi untuk hidup dalam kesunyian. Kehidupan yang memungkinkan kita khusyuk dalam lezatnya membaca, menulis, berlatih, berdiskusi, hingga aktif di sebuah organisasi.
Jika sejak awal niat kita saja sudah tercoreng dengan hal-hal yang justru mencederai aktivitas akademik. Lantas alasan apa yang hendak kita sodorkan pada orang tua atas segala kerja keras mereka, atas harapan besar mereka dan atas keikhlasan mereka.[]
the woks institute l rumah peradaban 16/10/24
Komentar
Posting Komentar