Langsung ke konten utama

Cara Mengingatkan Orang Yang Salah




Woko Utoro

Di sebuah kelompok masyarakat pasti moralitas berlaku. Walaupun mungkin tak pernah dijumpai kesepakatan secara pasti yang jelas kebenaran itu mudah dimengerti. Misalnya dalam tradisi mana pun orang sepakat bahwa mencuri atau menghilangkan nyawa adalah perbuatan buruk. Sehingga tanpa ada peraturan tertulis pun semua orang paham.

Dalam berbagai hal kita jumpai di mana kebaikan selalu bersinggungan dengan tradisi atau adat setempat. Misalnya di Eropa hubungan lawan jenis LK-PR yang belum berstatus suami istri di tempat umum atau rumah pribadi adalah hal biasa. Akan tetapi di Indonesia khususnya Jawa yang memegang budaya timur hal demikian adalah tabu. Tidak elok dan memang menyalahi aturan.

Misalnya ada orang yang memasukkan perempuan asing ke dalam rumah yang di sana terdapat laki-laki. Sedangkan hal demikian menimbulkan kecurigaan tetangga sekitar. Maka dari peristiwa itu kita sebagai yang mengetahui wajib untuk mengingatkan. Bahwa di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Bahwa seseorang pendatang harus patuh terhadap peraturan yang berlaku.

Contoh tersebut di atas kebetulan kami temui beberapa menit lalu. Yaitu ada seorang tetangga pondok yang tiba-tiba memasukkan perempuan ke dalam rumah. Setelah kami interogasi ternyata si tuan rumah berbohong jika perempuan itu laki-laki. Singkat kisah akhirnya mereka mengaku dan berjanji tidak mengulangi lagi (kami sendiri belum tahu apa yang mereka lakukan berdua selama di dalam). Untung saja beberapa teman kami menurunkan tensi emosi. Awalnya kami bersepakat untuk menghakimi mereka dengan aksi gepuk an (jotosan).

Dari itulah akhirnya kami belajar bahwa amar ma'ruf nahi mungkar itu harus ditegakkan. Bagaimana pun caranya dan memang sesuai kemampuan. Tapi yang jelas dalam Islam sesuai petunjuk hadits Arbain Nawawi ke-34 bahwa mengingatkan itu terdiri dari 3 tingkatan.

Pertama, ingatkan mereka dengan tanganmu. Hal itu berarti dengan kekuasaan. Atau kemampuan yang tidak hanya dimaknai fisik melainkan jabatan atau orang yang memiliki pamor/pengaruh. Kedua, ingatkan mereka dengan lisan. Artinya bahwa orang lupa perlu dinasihati. Orang salah itu perlu diarahkan. Dan orang keliru itu perlu dirangkul dan diberi petunjuk alias pemahaman.

Ketiga, jika tidak mampu dengan kedua hal tersebut maka ingkaru bi qolbi. Bahwa kita ingkar dengan perbuatannya bukan orangnya. Ingkar atau menolak keburukan tersebut adalah selemah-lemahnya iman. Akan tetapi hal itu lebih baik daripada kita apatis untuk tidak menyebutkan jika berbuatlah salah tetap salah dan baik disebut baik. Bukan malah sebaliknya. Inilah pentingnya mempertegas diri.[]

the woks institute l rumah peradaban 13/10/24

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...