Langsung ke konten utama

Sholawat Apakah Aktivitas Spiritual atau Intelektual?




Woko Utoro

Emha Ainun Najib pernah ditanya apakah orang yang melantunkan shalawat adalah bagian dari kerja-kerja intelektual atau spiritual. Pertanyaan tersebut dilatarbelakangi oleh banyak kalangan di mana ketika bershalawat selalu ada perasaan yang tidak bisa dijelaskan. Misalnya perasaan rindu, sedih hingga sesak di dada.

Jika perasaan itu muncul mengapa aktivitas melantunkan shalawat tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata. Lantas adakah hal paling sederhana untuk menjelaskan fenomena ini. Menurut Mbah Nun seraya menyetir pernyataan Sabrang MDP bahwa aktivitas bershalawat adalah pekerjaan batiniah. Alasannya sederhana karena orang tidak membutuhkan logika mapan untuk menyesap makna dalam teks shalawat.

Sekalipun misalnya seseorang tidak mengerti artinya tetap saja bacaan shalawat seolah menyimpan daya magis. Bahkan kadang ketika srakal atau mahalul qiyam orang-orang berdiri dan tanpa disadari tangis pecah sepanjang puncak maulid tersebut. Di sanalah kadang intelektualitas seperti tidak bekerja dengan baik.

Intelektualitas seolah redup sejenak. Karena suasana syahdu dari genderang rebana menambah tenggelamnya orang-orang. Di sinilah bacaan shalawat dan musik menggiring orang untuk mudah tersentuh. Sebagai mahluk berperasaan tentu 2 kondisi tercipta yaitu antara kerinduan dan ingat akan dosa-dosa.

Ketika shalawat terus bergema orang-orang bahkan tidak peduli arti di balik setiap syair yang dibaca. Yang dipikirkan orang hanya 2 hal yaitu bersenandung atas nama manusia agung Kanjeng Nabi Muhammad SAW dan bersyukur atas kelahirannya. Artinya di sana kepedulian orang berpusat pada rasa syukur yang diekspresikan lewat bacaan shalawat tersebut.

Memang demikian karena shalawat bagian dari bacaan sastra maka sifatnya sama yaitu tidak butuh logika. Sastra sejak dulu bekerja untuk tidak membutuhkan pertanyaan. Akan tetapi sudah mengandung jawaban secara natural. Ini sebabnya mengapa aktivitas spiritual selalu tidak bisa dijelaskan secara gamblang. Aktivitas spiritual hanya bisa dirasakan oleh pengamalnya. Semakin mereka menikmati maka semakin dalam pula perasaan yang terhanyut.

Bacaan shalawat yang begitu indah memang memiliki semacam hormon endorfin yang mampu meningkatkan gairah, selalu bahagia dan melupakan rasa sakit. Dari sinilah akhirnya kita bisa menyimpulkan bahwa aktivitas membaca shalawat adalah pekerjaan spiritualitas. Orang yang spiritualnya terhubung pasti akan mudah terhanyut dalam kerinduan. Sekalipun misalnya mereka tidak mengerti arti bacaan shalawat secara intelektual.[]

the woks institute l rumah peradaban 15/10/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...