Langsung ke konten utama

Pengalaman Menjadi Juri Lomba Lalaran Nadhoman




Woko Utoro

Di dunia santri, lalaran atau nadhoman adalah salah satu tradisi yang tak boleh absen. Lalaran sering disebut metode menghafal dengan cara bernyanyi. Sedangkan nadhom sendiri merupakan teks atau syair yang disusun sesuai dengan rima tertentu. Maka istilah nadhoman berarti juga aktivitas menyenandungkan syair.

Dalam hal ini tentu bait syair yang dinadhomkan terdapat dalam kitab-kitab tertentu khususnya kitab nahwu dan shorof. Adapun kitab-kitab yang memuat nadhoman tersebut yaitu Kitab Imrithi' karya Syeikh Yahya Syarafuddin al-'Imrithi, Jurumiyah karya Syeikh Muhammad bin Muhammad bin Dawud Al-Shonhaji Abu Abdillah, Aqidatul Awam karya Sayyid Ahmad Al Marzuqi Al Maliki Al Hasani, Alfiyah karangan Syekh Muhammad bin Abdullah bin Malik Al Andalusy atau Ibnu Malik dll. 

Selain kitab-kitab tersebut tentu masih banyak lagi kitab lain yang sering dijadikan nadhoman oleh para santri misalnya Ta'lim Mutaalim dengan syair Alalanya, Kitab Fasholatan Kiai Asnawi Kudus, Kitab Mitra Sejati dan Ngudi Susilo milik Mbah Bisri Mustofa Rembang, al-Amtsilah at-Tashrifiyah KH Muhammad Ma’shum bin Ali hingga Kitab Matan Al Bina wa Al Asas Syeikh Abdullah ad Danqazi.

Dalam acara lomba lalaran nadhom pada acara Hari Santri Nasional 2024 tersebut tentu santri Pesantren Subulussalam memang jagonya. Dengan segenap kreativitas mereka tampil memukau juri. Kebetulan saya ditemani juri 1 yaitu Ustadz Sulthon menilai peserta sekitar 9 kelompok. Dengan alat musik dadakan seperti panci, botol kaca, sendok garpu, galon, ember, bambu hingga talenan para santri unjuk gigi begitu bagus. Ditambah lagi busana dan aransemen menambah hangatnya suasana.

Mereka tampil tidak boleh melebihi 10 menit. Dengan penilaian meliputi adab, kreatif, pelafalan dan aransemen lagu. Semua peserta menampilkan yang terbaik bahkan tak jarang kami ikut bergoyang-goyang. Selain karena kekompakan, suara vocal dan aransemen musik juga turut memeriahkan acara. Hingga akhirnya kami pun berkesempatan untuk memberikan komentar.

Saya dan Ustadz Sulthon memiliki pandangan yang sama bahwa para peserta sudah menampilkan yang terbaik. Oleh karena itu pesan kami adalah untuk terus mengembangkan tradisi tersebut. Karena sejak dulu hafalan dengan metode lalaran terbukti ampuh dan mudah. Selama selalu dinyanyikan maka hafalan tak mudah dilupakan. Terlebih lagi kita juga mendapatkan hiburan dengan musik dan kekompakan.[]

the woks institute l rumah peradaban 25/10/24


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...