Langsung ke konten utama

Urgensi Pendidikan Dalam Sebuah Keluarga




Woko Utoro

Kemarin saat saya rihlah ke Trenggalek untuk sebuah keperluan. Saya mampir ke Makam Mbah Mesir di Durenan. Entah, tidak ada niatan apapun. Yang jelas saya hanya ingin ziarah ke sana sampil numpang shalat Dzuhur. Sesampainya di sana saya berjumpa dengan seseorang namanya Pak Ari. Beliau berasal dari Madiun.

Di sanalah akhirnya kami terlibat dialog. Kata Simbah juru kunci makam, "Sana lho kerjo-kerjo dadi seles mbuh opo". Padahal saya pada saat itu juga menjadi sales salah satu produk obat herbal. Uniknya lagi ternyata Pak Ari juga seorang sales produk rumah tangga seperti tawas, menyan hingga kapur barus.

Singkat kisah Pak Ari bercerita tentang pekerjaan dan bahkan sekaligus menawarkan pada saya. Tapi sebelum itu kami pun melaksanakan shalat Dzuhur terlebih dahulu. Selepas shalat Dzuhur barulah cerita beliau berlanjut. Bahkan berlangsung seru.

Pak Ari adalah seorang bapak paruh baya yang memiliki 3 orang anak. Beliau dan istri sama-sama alumni dari sekolah pertanian. Pekerjaan beliau adalah kirim barang salah satunya menyan dan tawas. Beliau keliling se zona Mataraman dengan menggunakan Motor Megapro Putih. Katanya setiap berhenti di sebuah wilayah beliau akan istirahat di masjid yang ada makam wali. Misalnya jika di Nganjuk beliau istirahat di Makam Mbah Zakariya, di Kediri di Makam Mbah Wasil dan di Trenggalek di Makam Mbah Mesir. Saya lupa tidak tanya jika di Tulungagung beliau singgah di mana.

Kisah unik dari Pak Ari tentu berlanjut yaitu jika beliau memiliki putra yang mondok di PPMQ Kodran Kediri. Di sana putranya nomor 2 dan kini sedang hafalan Al Qur'an. Di sana beliau memiliki kenalan namanya Mas Wahyu dari Purwokerto. Katanya Mas Wahyu itu usahanya membimbing santri untuk bisa kerja ke Jepang. Jika santri ingin ke Jepang bisa hubungi Mas Wahyu. Di sana santri diajari vokasi dan kursus bahasa Jepang selama 8 bulan. Selama kursus itu mereka hanya mengganti makan saja.

Setelah mereka sudah siap dan lulus ujian maka persiapan untuk diberangkatkan ke Jepang. Setelah di Jepang insyaallah gajinya sekitar 15 juta. Untuk awal kerja di sana dari pihak Mas Wahyu hanya memotong satu kali sebesar 15 juta bisa diangsur pembayarannya. Soal ini jika tertarik bisa hubungi saya dan bahkan saya langsung diberi nomor Mas Wahyu oleh Pak Ari. Katanya jika alumni pesantren bisa sangat mungkin untuk dibantu segala kebutuhannya.

Kisah berlanjut bahwa anak nomor satu Pak Ari kini sudah menjadi salah satu pengajar di Ma'had Aly Tebuireng. Sedangkan anak nomor 3 kini masih mondok di Madiun. Saya mencoba bertanya mengapa semua anak beliau mondok. Ternyata jawabannya di luar dugaan.

Kata beliau cukup orang tuanya yang tidak memiliki ilmu agama. Sedangkan anak harus dibekali ilmu agama. Orang tuanya dulu di sekolah umum maka biarkan anaknya memilih jalan mondok. Anak mondok itu agar menjadi penyeimbang karena orang tuanya tidak mondok.

Beliau sadar bahwa pendidikan khususnya agama menjadi bekal untuk kehidupan mereka. Kata Pak Ari sekalipun misalnya harus mengeluarkan biaya mahal tapi jika untuk mondok semua diusahakan. Pendidikan pesantren kata Pak Ari hari ini lebih bisa dipercaya dan mampu mengawal akhlak mereka.[]

the woks institute l rumah peradaban 28/10/24





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...