Langsung ke konten utama

Mentalitas Kuat dan Semangat Kunci Menghadapi Masa Depan




Woko Utoro

Tepat 10 Oktober 2024 diperingati sebagai Hari Kesehatan Jiwa Se-dunia (HKJS). Momentum tersebut tidak hanya sekadar mengingatkan kita pentingnya kesehatan mental. Akan tetapi mengajak kita untuk merawat kesehatan mental itu sendiri. Saking pentingnya banyak istilah berkaitan dengan kesehatan mental ini.

Kesehatan mental sering disebut mental health, ada juga kekuatan mental (mental strength) dan ketangguhan mental (mental toughness). Istilah tersebut tentu dalam rangka menjadi tameng atas problem mental illness atau mental disorder. Mental disorder seperti yang kita ketahui sudah terjangkit ke banyak orang khususnya muda mudi. Apalagi saat ini media sosial menjadi pemicu utama orang mengalami gangguan mental setelah tekanan sosial.

Anda tahu saat ini banyak pemuda begitu rapuh, gampang trauma, menyakiti diri sendiri, emosian hingga bunuh diri. Semua itu bisa jadi karena mentalitasnya terganggu. Mentalitas tidak hanya berkaitan dengan cara berpikir melainkan cara memutuskan, merasakan, empati hingga tahu diri. Problem saat ini manusia secara umum justru mudah lupa diri. Baik dalam keadaan terpuruk maupun berjaya lupa diri lebih cenderung daripada tahu diri.

Di sinilah penting kontrol diri dan berpikir positif terhadap keadaan. Dengan self control seseorang memungkinkan untuk mengerti batas-batas kedirianya. Sedangkan dengan berpikir positif seseorang lebih mudah menerima kondisi yang terjadi. Problem kita selanjutnya adalah merasa cemas dan khawatir akan sesuatu yang belum terjadi.

Kecemasan yang berlebihan menyebabkan orang tidak bisa berpikir jernih. Bahkan dampaknya bisa psikopsomatis dan memperburuk keadaan. Soal ini agama sebenarnya sudah mengingatkan arti penting dari rela dan husnudzan. Ditambah lagi dengan sabar atas segala ujian dan syukur atas segala kenikmatan. Dengan begitu orang akan mudah memposisikan dirinya menjadi pribadi yang kuat.

Kekuatan pada diri manusia sebenarnya besar. Akan tetapi kekuatan tersebut mudah goyah karena efek seseorang dikuasai nafsunya. Orang tidak lagi menempatkan berpikir jernih dan keilmuan sebagai landasan utama. Saat ini virus individualis dan mau menang sendiri justru mendominasi. Akibatnya mentalitas dibentuk berdasarkan keuntungan. Sekalinya di posisi terbawah maka orang cenderung kecewa dan gugat.

Maka dari itu di sinilah perlunya kita menjaga kesehatan mental. Karena mayoritas pikiran dan hati mengontrol penuh aktivitas tubuh manusia. Jika pikiran dan mental sudah terganggu lantas saran apa lagi yang bisa menyadarkan selain diri sendiri.[]


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...