Langsung ke konten utama

Menjadi Ikhlas Dengan Menjadi Guru TPQ




Woko Utoro

Pada kesempatan kemarin saya bisa kembali hadir di acara rutinan pertemuan guru TPQ se Kecamatan Kauman. Hal yang saya tunggu tentu dawuh-dawuh dari poro kiai. Dalam hal ini ada Kiai Muallim. Tapi ternyata beliau langsung geser karena mengisi di acara Muslimat. Akan tetapi peran beliau digantikan oleh Ust Ahmadi.

Pertemuan kali ini bertempat di TPQ Bustanul Ulum Bolorejo. Sedangkan acara dimulai sejak pukul 10:00 sampai dengan 12:00 siang. Dalam petuahnya Ustadz Ahmadi yang juga ketua MWC NU Kauman mengatakan bahwa kita harus mengamalkan "Ikhlas Tanpa Batas, Ikhlas Tanpa Balas". Jika dimaknai tentu sangat dalam sekali terkhusus untuk para guru TPQ.

Tidak salah jika sampai hari ini guru TPQ masih di garda depan yang ikhlas membimbing santri. Karena sampai hari ini pula guru TPQ tidak pernah protes soal gaji. Guru TPQ selalu menjadikan santri dan al Qur'an sebagai bentuk pengabdian. Maka kata Ustadz Ahmadi ada kisah saat Kanjeng Nabi Muhammad SAW Isra Mi'raj. Yaitu ada orang menanam setelah itu panen, muncul kembali dan panen lagi dan lagi.

Lantas Kanjeng Nabi Muhammad SAW bertanya pada malaikat Jibril. Apakah gerangan maksud semua itu? Jibril menjelaskan jika semua itu adalah buah pahala orang yang mengajarkan al Qur'an. Ilmunya terus menumbuhkan. Ilmu dan berkahnya terus mengalir. Karena al Qur'an akan terus diteruskan oleh para santri.

Selain itu Ustadz Ahmadi juga berpesan terutama soal etika santri TPQ agar tidak kencing berdiri, menjulurkan kaki ke kiblat, dan meludah ke arah kanan. Karena hal itu berkaitan etika kita kepada hakikat yang tersembunyi.[]

the woks institute l rumah peradaban 28/10/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...