Langsung ke konten utama

Menulis Melancarkan Sirkulasi Pengetahuan




Woko Utoro

Kemarin seorang teman terus men-support saya agar terus menulis. Entah kesambet apa sehingga teman saya itu mendorong agar tetap di jalur tulis menulis. Alasannya sederhana bahwa dunia saat ini didominasi oleh peradaban oral yang makin masif. Maka dari itu menulis adalah jalur kesunyian yang tidak setiap orang mau memasukinya.

Menulis adalah penyeimbang sekaligus pembeda dengan tradisi lain. Mengapa demikian, kata teman saya orang banyak wawasan dan kaya pengetahuan bedanya hanya di posisi menulis. Sedangkan orang yang banyak ilmu sebenarnya juga harus menulis. Jadi bisa saja orang pandai bicara tapi belum tentu pandai menulis.

Menulis adalah keterampilan yang perlu dilatih. Orang yang banyak wawasan tapi tidak mentradisikan menulis juga tidak otomatis bisa menulis. Menulis itu persoalan minat dan pembiasaan. Sehingga dengan menaruh perhatian pada tulisan berarti kita selangkah lebih maju. Alasannya untuk menekan tradisi orang yang terkadang tidak terkontrol.

Semua sepakat bahwa menulis itu tidak mudah. Juga tidak disebut sulit. Asal kita mau terbuka dan mencoba menuangkan gagasan pasti tulisan bisa dihasilkan. Mengapa menulis perlu ditradisikan. Sederhana saja bahwa pengetahuan perlu diabadikan. Setelah itu agar masif perlu dibicarakan. Jika sudah begitu pengetahuan terus tersemai. Persemaian tersebut didasarkan pada kegiatan seminasi yang bersandar pada tulisan.

Lewat dunia tulis menulis tersebut berarti kita memiliki upaya untuk melancarkan sirkulasi pengetahuan. Setidaknya mengajak orang untuk tidak bersikap instan. Tapi berpikir sistemik, butuh proses dan kritis. Atau setidak-tidaknya kita berupaya menghargai bahwa menulis itu adalah satu jalan yang bisa dipercaya untuk mengabadikan pengetahuan. Dengan menulis pengetahuan akan lebih awet. Jika setiap orang sudah tidak mau menulis maka bersiaplah peradaban akan mandek. Jika sudah demikian lantas pada siapa kita menaruh kepercayaan?[]

the woks institute l rumah peradaban 20/10/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...