Langsung ke konten utama

Melihat Dari Dekat Keikhlasan Para Kiai




Woko Utoro

Bicara keikhlasan di pesantren jangan ditanya. Di pesantren keikhlasan adalah gudangnya dan memang harus menjadi ruh utama. Karena keikhlasan sebenarnya ada di manapun dan menjadi dasar ibadah kepada Allah SWT. Tanpa keikhlasan ibadah kurang diperkenankan. Karena ibadah tanpa keikhlasan ibarat buah tanpa vitamin.

Jika berbincang tentang keikhlasan para kiai tentu sangat banyak ditemui. Sebab keikhlasan adalah indikator mengapa pondok pesantren masih eksis hingga kini. Eksistensi itulah ditopang karena kiai begitu ikhlas mentarbiyah santri dan sabar mengayomi masyarakat. Dari keikhlasan itulah Allah SWT selalu mengajak ke perjamuanya. Dari keikhlasan itulah orang-orang digerakkan. Bahkan keikhlasan membuat orang diundang sekalipun sang kiai telah pergi, perpulang.

Coba kita bayangkan begitu banyak kiai pejuang yang mewakafkan hidupnya untuk bangsa negara. Banyak kiai yang jiwa raganya rela mati demi kemerdekaan. Tapi tak ada sedikit pun di antara mereka berharap pamrih atau balas jasa dari siapapun. Satu-satunya yang mereka inginkan adalah ampunan dan ridhoNya.

Dari banyak era sejak dulu kita bisa belajar dari Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy'ari betapa ikhlasnya sehingga beliau masih menanam adi dan berjualan di Pasar Cukir. Padahal beliau adalah tokoh panutan dan kiai besar. Mbah Fadhol Senori Tuban, beliau juga berdagang hingga sukses. Ketika sukses maka beliau tinggalkan usahanya lalu berpindah ke usaha lain.

Mbah Fadhol sengaja memulai terus usahanya dari awal hanya untuk mensyukuri atas nikmat berproses. Tak ada kenikmatan hidup ketika kita berjuang, bekerja dengan tangan sendiri. Ada lagi misalnya Mbah Dullah Salam Kajen, beliau hanya ingin mengajar di ndalem nya yang sederhana. Padahal langgar dan madrasah sudah dibangun megah oleh putra-putrinya. KH Ahmad Asrori Al Ishaqy, beliau juga selalu hadir dalam acara majelis dzikir dan manaqib Al Khidmah sekalipun dalam keadaan sakit.

Kisah-kisah tentang keikhlasan tentu teramat banyaknya. Sehingga kita tinggal memilih keikhlasan mana yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan. Kata KH Mustaqiem bin Husein pendiri Pondok PETA Tulungagung bahwa keikhlasan itu jangan berharap balasan dan kesabaran itu juga tak ada batasan. Maka perlulah kita belajar ikhlas tanpa balas dan sabar tiada batas. Dengan begitu kita akan menjadi hamba yang selalu dipilihnya tanpa khawatir memikirkan hari esok jadi apa.

the woks institute l rumah peradaban 15/10/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...