Woko Utoro
Alhamdulillah saat ini walaupun dunia gemerlap karena materi tapi sebagian orang masih melestarikan ngaji. Terlebih media turut membantu menyebarkan pengajian lewat konten-kontennya. Ngaji dibranding dengan begitu apik tanpa kehilangan esensinya. Orang jadi suka ngaji walaupun sebatas sami'in alias ngaji kuping.
Perihal ngaji saya pernah ditanya bagaimana jika yang ikut hanya sedikit orang. Soal ini mudah saja dijawab bahwa esensi ngaji bukan kuantitas tapi kualitasnya. Ngaji tidak berpaku pada berapa orang yang mengikuti tapi kemampuan untuk konsisten menggelar pengajian tersebut. Karena menurut ulama orang baru berniat ngaji saja pahalanya luar biasa lebih lagi berangkat, hadir, mendengarkan, mencatat, menyebarkan hingga mengamalkan tentu sangat istimewa.
Ngaji itu bukan perkara mudah. Ngaji itu berat makanya pahalanya surga. Jika ngaji itu ringan dan paling hanya berhadiah kipas angin atau jajanan pasar. Inilah keistimewaan ngaji yaitu orang dituntun untuk mengerti akan ilmu Allah yang begitu luas. Dengan ngaji kebodohan terkikis perlahan-lahan. Dengan ngaji dunia gelap jadi tercerahkan.
Ngaji itu istimewa karena di sana orang bersama-sama membuka kembali pengetahuan yang ada. Gurunya mempersiapkan diri dengan mutholaah, sedangkan muridnya mempersiapkan diri dengan menyimak dan menghayati. Dalam hal ini paling terkenal kisah Syeikh Zakariya al Anshari memiliki guru alim allamah yaitu Imam Ibnu Hajar al Asqolany dan murid alim allamah juga yaitu Imam Ibnu Hajat al Haitami. Bayangkan jika di masa itu para beliau saling belajar begitu keras untuk sama-sama menyajikan pengajian yang berkualitas baik sebagai guru maupun murid.
Maka jika ditarik di era kekinian tak ada alasan untuk tidak mengaji. Karena ada banyak pilihan untuk kita ngaji walaupun hanya via online. Ada banyak guru-guru luar biasa khususnya berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama. Sekaligus ngaji itu terbagi jadi 3 varian yaitu ngaji khusus ala Gus Baha, ngaji umum ala Gus Kautsar dan ngaji show ala Gus Iqdam. Bisa juga ngaji tematik ala Buya Arrazy hingga ngaji dan sholawat ala Habib Syeikh dan Habib Bidin. Tinggal sekarang kita tentukan dengan siapa kita mengaji.
Jika makan adalah asupan gizi tubuh maka ngaji adalah asupan gizi ruhani. Jangan sampai kita tidak ngaji dan membiarkan ruhani kering, gersang tak dihujani pengajian. Hidup itu perlu bekal untuk menuju pada akhirnya, berjumpa dengan Allah SWT. Sedangkan sangu atau modal perjumpaan kita denganNya adalah lewat ngaji. Tak ada orang yang terlahir langsung pintar maka dari itu kita perlu ngaji. Dengan ngaji kita dididik untuk tetap rendah hati.[]
the woks institute l rumah peradaban 27/10/24
Komentar
Posting Komentar