Langsung ke konten utama

Meneropong Kampung Ilmu


Oleh: Woko Utoro
Tulisan ini saya dedikasikan buat mereka para pecinta ilmu pengetahuan yg rela meluangkan waktunya buat membaca dan berniat kuat untuk membaca. Yang kata pepatah "membaca adalah salah satu langkah membuka cakrawala dunia".
.
Kita tahu bahwa di Indonesia banyak sekali kampung yg terkenal akan keunikanya, sehingga kampung tersebut masyur karena ada banyak hal menarik di dalamnya. Kampung Inggris di Pare Kediri dan Magelang Jawa tengah misalnya, juga ada Kampung Pelangi di Malang, Kampung Coklat di Blitar dan kampung terkenal lainya di seluruh Indonesia. Yg darinya orang2 dapat mengambil inspirasi dan pelajaranya dan tidak pernah luput yaitu spot foto hehe. Dan ada satu lagi yaitu Kampung Ilmu di Surabaya, yg saya sendiri baru mengetahuinya dari salah satu tayangan stasiun TV swasta milik organisasi NU. Host TV tersebut yaitu Gus Candra Malik pada acara Rumah Hati, dengan tag line nya yg khas "bayti jannati: rumahku surgaku, surga itu ada di dalam hati, hati saya dan tentunya di hati anda".
.
Kampung ilmu seperti yg di tuturkan pak Wardhani (sekretaris K.I) terletak di Jln Semarang No.55, Tembok Dukuh, Bubutan, Kota SBY, Jawa Timur dekat stasiun Pasar Turi. Di kampung ilmu ini selain sebagai objek wisata juga sebagai objek inspirasi dan ladang ekonomi masyarakat. Karena Toko Buku lah utamanya yg di jajakan disini. Sekitar 84 kios buku berjajar rapi di (KI) ini. Dengan koleksi buku lawas (walau lawas tp dalamnya terdapat goresan masa lalu), sedang dan baru semua ada di sini, pastinya dengan harga terjangkau, cocok sekali bagi para maniac buku. Selain berlibur juga menambah wawasan. Karena selain toko buku di sana ada juga program pelatihan2, bedah buku, padepokan dan sanggar seni dan budaya, kursus bahasa asing murah, dan pengajian buat para anak2 pedagang buku. Disana juga tersedia perpus dan bank kampung ilmu. Jadi lengkap sekali, wisata ekonomi yg beredukasi. Katanya, kami menjual buku bekas bukan bekas buku.
.
Kampung ilmu didirikan sejak 9 April 2009. Yg bertujuan sebagai katalisator antara masyarakat, pemerintahan dan pendidikan. Akan tetapi di (KI) tidak bermuatan politis karena semuanya murni pengabdian untuk masyarakat yg berilmu. Karena jika sesuatu bermuatan politis (kepentingan tertentu) maka bisa berakibat saling menjatuhkan dan merebutkan. Sehingga sebagian pengelola semuanya berasal dari para relawan, yg kata Gus Candra berarti rela melawan. hehe.
.
Tentunya dengan adanya (KI) ini masyarakat bisa lebih mencintai ilmu melalui membaca buku. Jika seseorang sudah mencintai ilmu maka percayalah bahwa ilmu yg mengalir deras itu akan mengantarkan mereka menuju samudera ilmu yg maha luas.
Sasaran utamanya adalah membangun melalui anak2 karena, hari ini mungkin ia adalah anak2 tapi esok hari ia akan jadi pemimpin. Pastinya ia akan mengisi ruang2 dalam kehidupan di masyarakat nanti. Tidak hanya anak2 saja tentunya dalam ilmu harus juga merambah ke tingkat keluarga. Karena keluarga bisa berfungsi sebagai pencipta sejarah juga sebagai pemusnah sejarah. Salah satu bukti pemusnah sejarah adalah di saat banyak tulisan milik keluarganya yg menempuh pendidikan dengan segudang buku catatan yg penting, tiba2 harus rela di tukar dengan beberapa liter minyak goreng atau harus menjadi sahabat bagi setiap gorengan yg berminyak, atau yg amat nista adalah di bakar sebagai pengantar api di setiap tungku masak.
Dari sinilah harapan (KI) agar masyarakat bisa menjadikan buku sebagai pelita, karena ilmu berasal darinya.
.
Kata pak Wardhani "buku adalah guru yg paling sabar, karena ketika ia di beli, trus ia rela di bawa, di letakan di suatu tempat, belum di buka bungkusnya dan bahkan belum tentu di baca pemiliknya, sehingga ia akan senang jika sudah di baca". Sungguh sebuah pengakuan dan perlakuan yg istimewa terhadap sebuah buku.
Harapan dari (KI) kedepanya yaitu bisa menjadi pusat inspirasi dan kebermanfaatan untuk masyarakat. Berhubung (KI) sebagian di danai dari swadaya masyarakat maka wajarlah jika bersemboyan dari masyarakat dan untuk masyarakat. Dan untuk saling berbagi kpada sesama.
#Salam Budaya


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...