Langsung ke konten utama

Ramadhan Bulan Berbagi Kebaikan




Woko Utoro

Koordinator Dompet Dhuafa Jawa Timur bagian Tulungagung menghubungi saya untuk mengisi acara public speaking di SMP Islam Al Badar. Tanpa berlama-lama akhirnya saya pun mengiyakan. Selain katanya dapat sangu saya juga meniatkan diri untuk berbagi. Apalagi di bulan Ramadhan yang kita yakini penuh berkah. Saya yang kekurangan pahala pun tentu menyambut antusias acara ini.

Acara tersebut mengingatkan saya pada HOS Tjokroaminoto yang berpesan pada muridnya jika ingin jadi pemimpin besar menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator. Benar saja murid itu dalam sejarah adalah pemimpin besar, Ir Soekarno namanya. Selain itu saya juga ditanya mengapa berkenan mengisi kegiatan public speaking? saya jawab saja sederhana bahwa saya adalah produk (korban) menggantikan tausiah ba'da dzuhur sewaktu di Aliyah dulu.

Bayangkan saja sejak kelas X saya sudah sering menjadi badal atas mbak-mbak yang halangan. Di sanalah selama hampir 3 tahun saya selalu menyiapkan materi sebagai modal ceramah. Akhirnya dari sanalah saya memiliki modal ya walaupun tidak banyak. Tapi hingga detik ini saya baru merasakan bahwa keberkahan ilmu itu riil keberadaannya. Keberkahan ilmu akan dirasakan ketika kita telah melewati beragam segmen kehidupan.

Di momen ini saya juga berniat untuk berbagi kebaikan. Walaupun yang saya miliki sedikit toh hal itu lebih bermanfaat daripada tidak sama sekali. Saya yakin bahwa di balik pengetahuan kita ada hak orang lain yang harus dibagi. Kebetulan saya pernah berproses di radio kampus dan mengikuti beragam seminar serta lomba. Dari itulah saya berani berbagi tentang ilmu public speaking. Sebuah kecakapan yang sebenarnya harus dimiliki oleh setiap remaja, muda mudi. Terlebih si era saat ini kesantunan berbahasa perlu digemakan lagi.

Terakhir saya tentu sadar bahwa semua ini belum menyentuh ekspektasi. Tapi yang jelas dengan berbagi pengalaman saya rasa akan sangat bermanfaat. Sedangkan manfaat itu bisa dirasakan dalam tempo saat ini atau nanti. Kita yakin saja bahwa ibarat virus kebaikan itu mudah menular. Dan spirit kebaikan inilah yang saya yakini esok, cepat atau lambat akan mekar.[]

the woks institute l rumah peradaban 18/3/25

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...