Langsung ke konten utama

Ramadan dan Pendisiplinan Diri




Woko Utoro

Untung berlipat ganda kita bisa berjumpa lagi dengan Ramadan. Sehingga rasa syukur harus terus digaungkan dengan lantang. Hanya dengan syukur kita bisa menikmati hidup lebih tenang dan damai. Seperti halnya Ramadan ini datang selalu tepat untuk mengajari umat tentang kehidupan. Salah satu pelajaran itu adalah kedisplinan.

Seperti yang kita tahu disiplin lahir dari beberapa kondisi seperti tugas, kewajiban, kebutuhan hingga kepepet dan terpaksa. Beberapa kondisi itulah memungkinkan kita untuk mendisiplinkan diri. Terutama soal kedisplinan waktu, ketepatan ukuran baik jarak maupun biaya dll. Ramadan juga berfungsi untuk mendisiplinkan secara alamiah. Misalnya mendisiplinkan waktu makan, ibadah dan aktivitas lainnya. Dengan begitu kita yang sering carut marut diajari untuk hidup sesuai dengan aturan.

Kedisplinan adalah sikap yang begitu luar biasa. Tanpa kedisplinan hidup berasa tercecer tak tau arah. Adanya Ramadan ini tentu mendisiplinkan kita terutama perihal urusan ukhrawi. Karena selama 11 bulan sebelumnya kita sudah kenyang dengan urusan duniawi. Maka dengan Ramadan tersebut kita diajak sejenak menjadi manusia rohani. Manusia yang berorientasi kepada Tuhan dalam setiap aktivitas. Harapannya tentu menjadi manusia berkarakter setiap waktu.

Manusia itu mahluk pelupa. Sehingga tidak salah jika Allah SWT memberikan kesempatan agar kita ingat kembali. Momentum pengingat itu jatuh di bulan Ramadan. Bulan di mana kita bisa berpijak mengatur ulang jadwal yang telah lama amburadul. Terutama tentang hal-hal yang berkaitan dengan janji-janji untuk menjadi manusia baik. Kata Rumi, Tuhan selalu tidak bosan mendengar rintihan hamba amatir seperti kita. Tuhan juga tidak marah pada hamba yang berdo'a dengan mata uang kepalsuan. Dia justru tetap membuka pintu rahmatnya seluas-luasnya.

Maka dari itu Ramadan datang terus untuk kita mendisiplinkan diri. Sambutlah kedatangannya dengan gembira. Ramadan datang bukan menjelma penjara melainkan membantu kita untuk kembali ke rel utama. Harapannya pasca pendidikan Ramadan manusia sadar bahwa kedisiplinan adalah mata uang yang berlaku di manapun. Karena disiplin itu tentang diri sendiri. Kata Nabi Muhammad SAW, peperangan terberat adalah melawan diri sendiri. Di bulan Ramadan lah saatnya kita menaklukkannya.[]

the woks institute l rumah peradaban 2/3/25

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...