Langsung ke konten utama

Puasa Sarana Penyucian Hati dan Jiwa




Woko Utoro

Baru saja saya ngobrol dengan H. M. Yasin Bisri dalam Program Ngaji Ramadhan Berlian FM Tulungagung. Pak Haji Yasin adalah penyuluh di Kantor Kemenag Kabupaten Tulungagung. Luar biasa apa yang beliau sampaikan sampai-sampai satu jam tidak terasa lama. Tema ngobrol kali ini adalah puasa sebagai sarana penyucian hati dan jiwa.

Saya awali obrolan tersebut dari pemaparan beliau tentang puasa. Bahwa puasa itu sederhananya al imsak atau menahan. Jadi puasa itu upaya untuk menahan segala dari hal-hal yang membatalkan seperti makan minum, berhubungan intim di siang hari dll sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari.

Sederhananya demikian yaitu puasa bagi dimensi fisik. Memang puasa itu sejatinya untuk dimensi fisik yang diwakili hati dan ruh yang diwakili jiwa. Dalam arti lain hati itu bisa berubah fisik bisa berupa perasaan atau emosi. Maka dari itu puasa jiwa lebih berat daripada puasa fisik  Sehingga dimensi puasa itu sangat luas maknanya.

Pak Yasin juga menjelaskan bahwa puasa bisa saja usai dalam satu bulan. Akan tetapi spirit berpuasa berlaku sepanjang hayat. Karena puasa itu menahan, nyeka, ngempet dari banyak hal terutama syahwat dan nafsu hayawan. Maka dari itu ada istilah bahwa puasa berlevel. Kata Pak Yasin jika ada orang yang puasa hanya sekadar menahan haus dan lapar maka itu puasanya anak-anak. Sedangkan puasa orang dewasa harus naik ke derajat tertinggi.

Beliau juga menyetir dawuh Imam Ghazali bahwa puasa itu ada 3 tingkatan yaitu puasa bagi orang awam, orang khos dan orang khususil khoas. Tingkatkan itulah yang akan menentukan kualitas puasa kita selama ini. Maka dari itu ada yang lebih penting dari puasa fisik semata yaitu puasa hati dan jiwa.

Pak Yasin juga memberikan penjelasan bahwa puasa itu berfungsi sebagai penyucian hati dan jiwa. Ibarat kata, kita bebas makan minum selama 11 bulan maka 1 bulan adalah untuk alat kontrolnya. Seperti halnya mesin puasa mengajari kita untuk rehat sejenak. Ramadan mengajak kita untuk gantian memuaskan diri dari hal-hal yang tercela. Maka dari itu Ramadan adalah edisi untuk memberi porsi ibadah rohani.

Puasa juga bekerja untuk menyingkirkan hal-hal buruk dalam jiwa. Dalam terminologi sufi dikenal dengan takholi. Setelah hati dijauhkan dari sifat tercela maka isilah dengan kebaikan yang disebut tahalli. Setelah itu barulah akan ada ketersingkapan hijab antara hamba dan Tuhan yang disebut tajalli. Tajalli inilah yang menjadi tanda bahwa hati dan jiwa manusia telah suci.

Di sinilah pentingnya kita berpuasa untuk menyingkap hijab tersebut. Kata Ibnu Athoillah Syakandary seandainya tidak ada hijab syeitan niscaya manusia akan bisa mengakses semesta. Itulah mengapa kita nampak sulit untuk berjumpa dengan Allah. Karena ada banyak hijab yang menutupi perjumpaan hamba dan Tuhannya.

Terakhir berpuasalah selagi memiliki kesempatan terutama di bulan Ramadan. Karena puasa ini sungguh bisa menyembuhkan segala penyakit baik dhohir maupun batin. Karena puasa adalah ibadah yang dinilai oleh Allah langsung. Lewat puasa kita akan lebih terhubung dengan Allah melalui merasakan empati sosial. Bahwa hidup dan puasa adalah menjadi orang-orang yang bertaqwa.[]

the woks institute l rumah peradaban 8/3/25

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...