Langsung ke konten utama

Lebaran dan Alasan Mengapa Harus Pulang




Woko Utoro 

Salah satu alasan mengapa Kanjeng Nabi Muhammad SAW ingin kembali ke Mekah saat beliau tinggal di Madinah. Tak lain faktor itu adalah kerinduan. Maka dari itu alasan utama orang pulang ke kampung halaman adalah kerinduan. Selain itu kembali ke muasal adalah alasan utama. Tapi bagi Sartre pulang adalah pilihan. Karena ketupat barangkali alasan sekaligus fakta.

Walaupun kadang kepulangan kita ke kampung halaman selalu menyisakan kecemasan. Akan tetapi pulang adalah jalan mengerti dan menanam prinsip sejak dini. Seperti halnya ketika ditanya "Kapan nikah?" kata Nietzsche, "Manusia unggul selalu punya cara untuk tidak tunduk pada konstruksi sosial". Senada dengan Nietzsche, Kierkegaard juga mengatakan bahwa pulang bukan soal tempat tapi tentang keberanian untuk memilih.

Jadi jelas sebenarnya tanpa harus ada alasan selama berkesempatan pulang adalah hal wajib. Bagi Plato misalnya, pulang adalah perjumpaan dengan kesejatian. Karena selama masih mengembara berarti kita masih dalam proses pencarian yang entah kapan menemukan. Bahkan Rumi lebih canggih lagi bahwa pulang adalah ikhtiar wajib sekali pun rumah belum ditemukan. Maka benar kata Albert Camus, sekali pun misalnya berat pulang adalah keharusan. Karena seberat apapun kita tidak perlu mengerti tapi cukup dijalani.

Terakhir, jika kita masih punya alasan untuk pulang maka pulang lah. Walaupun hanya sejenak pulang adalah palung di laut dalam. Suasananya hening dan mengoyak kesepian. Dalam pulang kata Dostoyevsky adalah tentang pengakuan sedangkan lebaran berkaitan dengan pengampunan. Nak, pulanglah sejenak ya walaupun sekedar melihat kau tersenyum.[]

*Dioleh dari Laman Berdikari Book.

the woks institute l rumah peradaban 1/4/25

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...