Langsung ke konten utama

Menjadi Bagian dari NU Online


Woko Utoro 

Senang rasanya bisa menjadi bagian dari NU Online. Cita-cita yang sudah saya idam-idamkan sejak lama. Setelah dulu mengikuti pelatihan jurnalistik pada Mei 2024 kini saya dihubungi lagi oleh kepala madrasah NU Online yaitu Pak M. Fathoni. Pak Fathoni menghubungi saya pada 25 Maret 2025 untuk meliput pernak-pernik Ramadhan.

Alhamdulillah setelah saya mengiyakan akhirnya tugas pun berjalan dan dimulai sejak 1 Ramadhan atau 1 Maret 2025. Tentu saya sangat senang dan penuh antusias. Karena saya masuk di antara beberapa orang dari seluruh wilayah di Indonesia. Orang-orang tersebut yaitu : 
1. Wahyu Majiah (Aceh)
2. Syarif Abdurrahman (Jambi)
3. Dedek Riwanto JS, M.E (Lampung)
4. Ahmad Mursyidi (Banjar, Kalsel)
5. Rachmad Hidayah (Gorontalo)
6. Hanggono (Papua)
7. Wandy (Bali)
8. Iboy (Bali)
9. Ridwan (Makassar)
10. Alis (Ciamis)
11. Joko Susanto (Cirebon)
12. Naila Sabiluna Kamil (Kebumen)
13. Irna (Cilacap)
14. Ayu Lestari (Lasem)
15. Wafid Jailani (Bawean)
16. Woko (Tulungagung)
17. Husnul Khotimah (Bojonegoro)

Mereka semua ditugasi oleh Pemimpin Redaksi NU Online, Pak Ivan Aulia Ahsan untuk meliput kegiatan Ramadhan di dalam negeri. Ada pun hal itu dibuktikan dengan diturunkannya SK untuk semua kontributor. Salah satunya saya yaitu SK No. 054/ST/NU Online/III/2025. Dari SK itulah akhirnya saya pun bertugas dengan senang hati.

Alhamdulillah beberapa berita saya sudah dimuat di rubrik daerah di laman NU Online pusat. Di antaranya bicara tentang suasana tarawih vepat dan tradisi merconan di Pondok Mantenan Udanawu Blitar. Termasuk juga melihat suasana pasar tumpah di belakang kampus UIN SATU Tulungagung. Serta berita dari suasana rutinan malam Selasa di Majelis Ta'lim Sabilu Taubah pimpinan Gus Iqdam.

Dari sanalah tentu menjadi modal dan bekal untuk saya terus melangkah dan berkarya. Sejak dulu saya memang menginginkan semoga bisa berkhidmah di NU walaupun melalui jalur menulis. Maka NU Online ini mungkin bisa menjadi wasilah saya untuk terus berproses dan berkarya.[]

the woks institute l rumah peradaban 6/3/25

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...