Langsung ke konten utama

Ketenangan Lebih Mahal Dari Harta




Woko Utoro

Kemarin saya dapat kabar dari seorang teman ketia ia mengantri di Poli Jantung salah satu rumah sakit di Ngunut. Teman saya cerita jika beberapa waktu terjadi antrian panjang di Poli Jiwa yang didominasi kalangan muda. Ia pun kaget mengapa hal itu bisa terjadi. Ia mengira kalangan muda tersebut terkena jantung. Ternyata mereka mengalami depresi, stress dan gangguan mental.

Dari cerita itulah saya mencoba mencari tahu. Sehari sesudah cerita itu saya berkesempatan mengikuti tarawih di Pondok Mantenan Udanawu Blitar. Kebetulan di sana terdapat beberapa santri sepuh mungkin usianya kisaran 45-70an. Ternyata mereka adalah santri suluk atau pengamal tarekat di sana. Mereka sudah lama tinggal di serambi Masjid Mantenan. Ada juga yang hanya ikut selama pasan Ramadan.

Beberapa di antaranya saya tanya mengapa bisa ikut ngaji di sini. Di antara mayoritas jawabnya adalah mencari ketenangan. Saya pun iseng saja seberapa penting ketenangan itu sehingga harus dicari di sini. Apakah ketengan tidak bisa didapatkan di rumah atau tempat lain.

Di antara bapak tersebut berkisah jika dulunya semasa muda ia telah bergelimang dosa. Ia menegaskan jika sampai hari ini beribadah belum menemukan kelezatannya. Bahkan ia merenung apakah taubatnya diterima. Padahal menurut si bapak soal ekonomi ia telah selesai. Artinya bahwa perekonomian di rumah terbilang lebih. Akan tetapi ketenangan hidup seolah tak didapatkan.

Dari statement si bapat tersebut saya pun mencoba mencari tahu apa faktor terbesar mengapa orang kehilangan ketenangannya. Ternyata usut punya usut faktornya begitu kompleks. Di antara mengapa orang mengalami goncangan hidup adalah problem ekonomi, keluarga, harta dan dosa. Menurut agama hal demikian adalah cobaan bagi setiap orang. Sedangkan dalam persepektif psikologi beda lagi.

Menurut psikologi ketenangan adalah kondisi jiwa yang damai dan tanpa mengalami kecemasan. Istilah kerennya equanimity atau sebuah cara untuk menyeimbangkan diri antara stimulus dan respon. Kondisi itulah yang tidak dimiliki oleh orang-orang dengan tekanan sosial atau depresi. Salah satunya karena terlalu banyak berpikir terlalu dalam juga merupakan penyebabnya.

Bagi orang dengan keadaan stress pikiran karena beban mental yang luar biasa maka ketenangan adalah obatnya. Mereka mencoba mencari ketenangan dan berusaha mengontrol diri. Jika seseorang telah kehilangan dirinya maka terkadang mudah terjerumus ke jurang hal negatif. Maka dari itu ketenangan tersebut mahal harganya.

Faktanya tidak sedikit juga orang yang serba kecukupan tapi hidupnya berantakan. Hal tersebut hanya berpusat pada diri sendiri terutama bagaimana memfungsikan pikiran. Di sinilah kita belajar bahwa harta yang banyak tak bisa membantu apapun ketika jiwa berguncang.[]

the woks institute l rumah peradaban 3/3/25

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...