Langsung ke konten utama

Mudik : Memastikan Rindu Baik-baik Saja




Woko Utoro 

Saat kota metropolis membuai, melupakan kesadaran mudik hadir tepat waktu. Mudik bukan sekadar pulang atau menunjukkan status akan keberhasilan. Mudik justru bagian penting dalam tradisi masyarakat yang rindu akan orang tua, kampung halaman, silaturahmi dan kenangan masa kecil. Sehingga dari itu mudik adalah cara berkabar pada waktu yang lama ditinggalkan.

Mudik menjadi denyut nadi yang terus berdetak di masyarakat. Karena dalam mudik terdapat ramuan di mana orang merindu akan kolektivitas, kebersamaan, kesederhanaan dan kekeluargaan. Eko Yudi Prasetyo (2025) menyebut mudik sebagai ziarah eksistensial. Dengan alasan ada semacam emosi serta kesadaran yang selalu terhubung walaupun jauh dari kota yang kering dan kejam. Mudik membuat manusia bertanya siapa kita, dari mana, dan hendak kemana? Bukankah pertanyaan itu sangat batiniah. Yang jawabannya hanya dapat ditemukan ketika kita kembali (mudik).

Mudik juga menjadi sarana penyembuhan. Di saat manusia sibuk oleh urbanisasi dan kecanggihan teknologi, pulang adalah muaranya. Mudik adalah ruang jeda atau istirahat dari kecepatan zaman yang makin tak terkontrol. Dengan mudik kita akan menjadi oase setidaknya ketika memastikan pergi lagi. Mudik juga bagian dari alat yang memecah lapisan-lapisan sikap kesombongan dan angkuh. Dengan mudik seseorang akan tahu di mana mereka dilahirkan dan dibesarkan.

Jika manusia telah menyadari esensi dari mudik. Maka mereka akan tahu jika momen singkat itu adalah dalam rangka mengunjungi kerinduan, praktek birrul walidain dan ziarah pada jati diri. Belum lagi para leluhur adalah rumah untuk kita tak lupa diri. Dengan begitu sejauh apapun pergi dan semacet apapun perjalanan toh mudik adalah tradisi wajib bagi kita yang sering lupa diri. Dengan mudik kita mengerti hidup selaras yaitu antara alam, manusia dan leluhur. Jika sudah demikian maka manusia masih ingat bahwa mereka bukanlah siapa-siapa di hadapan kenangan masa kecilnya. Mudik adalah cara mengawal pergi sekaligus memastikan pulang tetap baik-baik saja.[]

the woks institute l rumah peradaban 29/3/25

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Zakat Sebagai Sarana Ritual dan Kesehatan

Woks Secara bahasa zakat berarti suci, berkembang, dan berkah. Dalam istilah fikih zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kepemilikan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya dengan aturan syariat. Dalam agama apapun zakat telah disyariatkan walaupun cara dan subjek wajib zakatnya sedikit berbeda. (Syahruddin, 2014:73) Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, zakat baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah walau dalam al Qur'an telah dijelaskan sebelum Islam datang, umat-umat terdahulu juga telah mengenal zakat. Setiap Nabi memiliki cara zakatnya tersendiri seperti zaman Nabi Musa yang memerintahkan menzakati hewan ternak seperti unta, kambing dan lembu. Bahkan Nabi Musa juga pernah meminta agar Qorun mengeluarkan zakatnya. Zaman Nabi Isa pun tak jauh berbeda yaitu meminta orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan zakatnya kepada yang miskin. Saat ini kita masih mengikuti syariat zakat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan penje...