Woko Utoro
Menerima hasil pahit 5-1 Timnas Indonesia vs Australia dilanjutkan ronde 3 kualifikasi piala dunia tentu tidak mengherankan. Kekalahan adalah tradisi Timnas kita dan tentunya sudah biasa. Akan tetapi yang membuat kita geram sebagai fans mengapa PSSI seolah tutup mata.
PSSI di bawah Erick Thohir (ET) memang luar biasa. Banyak gebrakan baru tapi sekaligus menyimpan ironi. Dengan hasil pembantaian di Sydney Stadium kemarin sudah jelas di mana posisi PSSI. Saya sebagai komentator amatir pun tentu merasa risih dengan sepakbola negeri kita yang terus mengulang hal-hal memilukan. Salah satunya dengan dipecatnya Shin Tae Yong (STY) dan digantikan dengan Patrick Kluivert (PK).
Tapi kita sadar bahwa Erick Thohir adalah seorang pengusaha. Bagi pebisnis dalam hal apapun termasuk bola adalah perjudian. Jadi mau tidak mau sebagai ketua PSSi tentu ET memilih jalur menyebrang. Pergantian pelatih juga dilakukan di timnas lain seperti Arab Saudi, Australia, Palestina, Qatar, Oman dan Uzbekistan.
Seinstan yang kita tahu pebisnis kalah atau menang sudah untung. Atau jika pun rugi sudah ada perhitungannya. Lebih dengan PK timnas tidak perlu ditarget lolos piala dunia. Sehingga dari kabar santer itu bersiap saja fans Indonesia akan puasa lebih lama. Fans Indonesia jangan berespektasi lebih karena air mata kita terlalu mahal buat keputusan yang memilukan.
Soal keputusan naturalisasi besar-besaran sebenarnya perlu dipertanyakan. Apa niat besar PSSI? jika kaderisasi tentu bagaimana memberdayakan SDM yang ada. Jika pun butuh naturalisasi tentu sekadarnya saja. Karena naturalisasi ibarat pepatan habis manis sepah dibuang. Tidak ada keberlanjutannya misalnya bagaimana nasib Cristian Gonzales, Sergio Van Dijk, Victor Igbonefo, Marc Klok dll.
Seharusnya naturalisasi hanya dimaknai sebagai pendamping alias daya gedor agar SDM lokal bisa lebih berkembang. Tentu usaha tersebut tidak instan seperti saat ini. Semua harus dibangun sejak dari bawah. Agar timnas kita kuat dan tidak terjebak pada ekspektasi sesaat.
Jika timnas dibangun secara instan tentu hal itu tak ubahnya seperti sepak bola tarkam. Saya ingat sepak bola di rumah dibangun atas dasar pemain cepolan. Misalnya mereka yang ingin menang mengusahakan pemain dari luar kampung dan itu ada biaya yang cukup mahal. Akhirnya demi memuluskan cara cepolan adalah jalan pintas.
Dari inilah sebenarnya kita bisa belajar bahwa membangun sesuatu itu harus dari bawah. Karena sesuatu yang instan akan rapuh dan tidak bisa menjadi pedoman untuk masa depan. Terlebih sepak bola Indonesia dibangun dari jutaan pasang mata yang punya harapan prestasi dan membanggakan di kancah dunia.[]
the woks institute l rumah peradaban 21/3/25
Komentar
Posting Komentar