Langsung ke konten utama
Manusia Dialogis dan Tekstualis
..
*Oleh Bang Woks
Suatu hari di saat aku berjalan menyusuri parit kecil dengan liuk air yg menyusurinya. Aku berfikir tentang serial kartun avatar yg dengan ciri khasnya yaitu 4 elemen (api, air, udara dan bumi/tanah). Lalu aku juga memikirkan hal itu, apakah tipe manusia juga memiliki salah satu dari elemen itu atau bahkan semuanya ada pada diri manusia?. Mungkin saja ada.
..
Ada 2 tipe manusia yg aku temui berdasarkan pengalaman temanku tipe yg pertama, manusia dialogis yg menurut KBBI sendiri ialah (dialogis/di·a·lo·gis/ a bersifat terbuka dan komunikatif). Manusia tipe pertama kita dapat menilainya bahwa mereka memiliki spesifikasi dalam ranah sosial. Menyapa warga, teman, lebih terkesan luwes, menerima tamu, membuat nyaman orang lain, tidak menyakiti hati, belajar dengan baik, mengedepankan sisi kemanusiaan dan psikologis dan tentunya dengan moralitas yg berlaku pada suatu budaya masyarakat yg ada.
Tipe kedua, manusia tekstualis, anda sendiri dapat menerka bahwa manusia tipe ini hanya dapat berpaku pada teks dan iya lupa akan konteks. Ia sadar bahwa pengetahuan itu penting namun jika ada aspek lain yg lebih penting ia sedikit hiraukan. Kesibukan mencari pengetahuan dalam buku atau berjibaku dengan serangkaian penelitian dalam laptop, mengapa tak bisa berhenti sejenak barangkali untuk sekedar melayani tamu, mengiyakan kawan yg mengajak ngopi atau bahkan membalas tersenyum, menegur sapa. Jika hal-hal kecil saja sudah kita lupakan, bernilai kaku, menutup diri, lalu kemana kita mencari ladang untuk kita semai bibit. Jika bukan pada aspek sosial dan masyarakat. Maka dalam hal ini jika dalam metafora lebah dan bunga maka yg di hasilkan rumus seperti ini "bunga rela mati demi lebih untuk menghasilkan madu sama dengan bermanfaatnya madu untuk manusia walaupun lebah juga akan mati. Akan tetapi pengorbanan bunga lebih dahulu untuk lebah".
..
Maka ketika aku bertanya pada satu temanku mengenai planning ketika lulus nanti, apa harapan terbesar pada dirimu? Temanku menjawab "saya memiliki harapan sederhana yaitu jiwa dan raga saya dapat bermanfaat bagi masyarakat. itu saja tak lebih. Saya sangat sedih ketika banyak para akademis dengan ilmu dan bahasanya yg melangit namun sungguh di sayangkan mereka hanya membuat diri mereka sendiri besar dan mereka lupa orang di sekekelilingnya tak di perhatikan. Lebih baik ilmu yg sedikit ini bermanfaat di masyarakat daripada memperjuangkan ilmu yg besar tapi tak peka sosial". Begitulah unggap temanku. Sebuah pengakuan yg rendah hati. sehingga aku sendiri belajar banyak hal darinya, bahwa hidup itu sejatinya sebuah pengabdian. "man khudama khudima".
..
Hingga akhirnya aku menjumpai sebuah nasihat yg tentunya membuatku cercengang sekaligus berfikir kedepanya mau apa? pesanya itu yg bunyinya seperti ini "Diantara orang-orang yg kita jumpai, disana mereka bermacam-macam ciri khasnya, sebagian menjadi rahmat, sebagian menjadi pelajaran dan kita menjadi sebagian dari APA?". Semoga kita tergolong manusia yg mau bermanfaat bagi manusia lain. Ciri diri kita bermanfaat adalah belajar. Belajar bukan untuk diri sendiri melainkan untuk diri dan orang lain. seandainya sang mawar harus rela mati demi sang kumbang, tak apa dan apalah arti hidup ini kecuali penghambaan pada Tuhan.
..
#Salam budaya
#Wokolicious

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...