Langsung ke konten utama

Memori SD: Penting mengetahui budaya sendiri

Woks
..
Mungkin teman SD saya sudah lupa dengan momen yang satu ini, sehingga saya coba untuk mengingat dan menuliskanya kembali.
..
Suatu hari di kelas kecil, pojok dekat mushola dan pas berdekatan dengan UKS dan kantin, kami sekelas (pada saat itu kelas 3 SD) sedang asyiknya menghafalkan budaya2 nusantara yang ada pada buku RPUL (Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap).
Pada saat itu banyak sekali teman yg hafal tentang pengetahuan umum sesuai dengan keinginanya, ada yg hafal ibu kota negara, benderanya, nomor kendaraan, nama lagu2 kebangsaan dan bahkan CLUB sepakbolanya. hehe (dasar anak-anak).
..
Tak terasa bel sudah berbunyi, pada saat itu guru kita masuk kelas beliau adalah Ibu Tri Sumiarsih (Semoga Allah berkenan bemberikan panjang umur, sehat dan selalu ikhlas berbakti untuk mencerdaskan negeri).
Perlu di ingat bahwa guru SD itu multiMAPEL, pelajaran apa saja bisa .hehe. Beda dengan dosen yg khualifikasinya pada satu spesifikasi matkul saja.
..
Pada saat itu beliau langsung mengajukan beberapa pertanyaan yang dulu sangat hits menurut kami.
Panggil saja Amadz. "Mad, ibukotanya jawa barat apa??.."gak tauu bu..(ibu punya kota??? #@*£€₩{¡¡`)..."Ya udah Ibu kota Indonesia mana...(Amad di bisiki temanya, PAPUA mad)..dengan polos iapun menjawab.."PAPUA BU". Ibupun mengeluh "hadeuuhh papua gundulmu..." ayoo ganti yg lain.
Ada lagi, sebut saja profesor kelas. Ibu kota Amerika..(prof. Washington DC).. Tarian khas Brazil (prof. Samba)...teman sekelas makin terpana Huiii....kerenn (Ciuutt cuuiitt wiiww pun mengisi suasana kelas wkwkwk). Terakhir di sebut anak benua (prof. INDIA bu...). Ok..bagus ..jawab ibu
..
Tiba saat giliran teman sebangku saya. "Kamu, coba sebutkan Club sepakbola yg menjuarai liga champions (ia menjawab: Chelsea, MU, Barcelona, Real Madrid, dll) Lagi..."menara Pissa ada dimana?.." ia jawab: "Lupa bu"..haha.
..
Tiba giliran saya (dulu saya seperti anak gembala) "ko tari saman dari mana? .."Aceh bu". Mata uang thailand..."Bath..bu". Lagi "sebutkan nama-nama mangga (saya jawab dgn bhs jawa; pelem cengkir, kaweni, bapang, harum manis, pelem klapa, pelem golek, pelem kebo, pelem balon, pelem tai kuda, pelem gedong, pelem unyil, pelem apel, manalagi) ibu bertanya.."ia MANA LAGI...(hahah bu manalagi itu jgn di pisah, itu nama mangga juga) hehe...Ohh...
..
Lalu ibu berkesimpulan "nah anak-anaku semua, ini penting bagi kalian semua, khususnya untuk masa depan, ketika kalian di tanya anak cucu jangan malu-maluin, nama club bola sampai hafal tapi nama jati diri sendiri tidak tahu. Kan ironi. Indramayu itu kota mangga, maka kita sebagai warganya harus tahu nama buah mangga itu, syukur2 kita bisa menjadi ahli yg dapat membudi dayakan mangga itu agar menjadi icon khas daerahnya. Jangan pernah malu nari sintren, nyanyi lagu tarling atau tari topeng, malah justru kitalah sebagai pelaku dan pewaris kebudayaan nenek moyang". Belajar yg rajin ya...pesan ibu.
Mungkin hari ini tak berarti, tapi lihat suatu hari nanti, kalau TAK LUPA ya PUNAH slamanya.
..
Siapa lagi yang mau bangga dan mau melestarikan budaya sendiri, selain kita para generasi penerus. Mangga adalah salah satu buah yang telah lama menemani kita dalam rangkaian sejarah.
#Salam budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...