Langsung ke konten utama

Makanan Rakyat

Makanan Rakyat
Lebaran sudah berlalu, namun rasa kenyang (wareg, sebeuh, full) daging masih sangat terasa, apalagi sisa2 bumbu seperti kacang dan cabe maasih setia merapat di sela2 gigi. hehe
..
Geser terlebih dahulu tentang makanan lebaran yg notabene di dominasi DAGING dkk. Sekarang berpindah sejenak kemakanan yg satu ini.
..
Ini namanya singkong (manihot utilissima) dalam bahasa inggris di kenal dengan Cassava. Bahasa daerahpun ada seperti, jawa telo, sunda sampeu, ketela, toli2 dan banyak lagi nama lainya. Bahan yg satu ini banyak memiliki karbohidrat sekitar 34,00 gram.
Dalam arus sejarah singkong di temukan di amerika selatan pada peradaban Suku maya dan masuk ke Indonesia di bawa oleh penjajah dari portugis.
Singkong berarti sudah masuk dalam arus sejarah. Maka dari itu singkong sangat di gemari oleh masyarakat terutama masyarakat kalangan bawah. Biasanya orang tua ketika bertamu pantas saja maunya di suguhi singkong dan sejenisnya, karena bagi mereka singkong adalah lambang kesederhanaan bahkan bisa juga jadi brand modern. Jarang sekali anak muda yg suka singkong (gengsi, malu dll).
Pantas saja agama melarang orang besar kepala alias sombong, atau dalam terminologi jawa (adigang, adigung, adiguno).
..
Kita patut tahu bahwa dari singkong kita dapat belajar bahwa menjadi sederhana itu tidak boleh malu, karena darinya kita faham dari mana kita berasal. Mbah2 di kasih spageti, burger, salad dan makanan ala Barat lainya mereja menolak, katanya lebih baik singkong. Kita berasal dari bawah dan akan kembali ke bawah.
#Salam budaya
#Wokolicious
#MerawatTradisiMerawatAkalSehat

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...