Langsung ke konten utama

Menghapus Keberadaan Hoax


Hoax dalam Lingkaran Dunia Ibu-ibu
Oleh Woko Utoro
Pada hari ahad, (27/01/2019) kader penggerak Muslimat Nahdlatul Ulama mengadakan acara besar berupa perhelatan akbar Harlah Muslimat NU yang ke 73 tahun di Gelora Bung Karno Senayan Jakarta. Salah satu Banom dalam organisasi masyarakat terbesar di Indonesia itu selain memperingati Harlah juga sekaligus deklarasi anti hoax, fitnah dan ghibah. Dalam momentum deklarasi tersebut tentulah penulis melihat kesegala sisi, sendi kehidupan bahwa hoax bisa menjangkiti kepada siapa saja, termasuk kaum ibu. Dari sanalah kita dapat terus berhati-hati bahwa sesungguhnya media sosial dan proses penyebaran hoax amatlah sangat dekat disekitar kita, bahkan tarafnya sangat memprihatinkan. Apalagi di tahun politik yang kian hari kian memprihatinkan rasa dari kemanusiaan kita, bisa berpotensi besar akan terurai dan terpecah belahnya bangsa, cuma gara-gara berita bohong yang tidak tau sumber akar sesungguhnya berasal.
Kita ketahui bahwa perempuan merupakan salah satu pondasi dasarnya negara, termasuk kuat dan tidaknya ibu sebagai madrasatul ula bagi perkembangan anak-anaknya. Ibu menjadi salah satu faktor terpenting dalam keberhasilan anak-anak untuk melewati masa golden age hingga ke remaja dan dewasa. Sehingga suasana pendidikan yang diberikan oleh ibu sebagai orang tua pun tentulah mengalami perkembangan seiring dengan berinteraksinya dalam arus digitalisasi zaman yang terus berevolusi.
Dulu disaat dunia belum mengenal kecanggihan IT seperti sekarang kebanyakan dari mereka memanfaatkan interaksi nyata daripada komunikasi dalam dunia maya. Namun seiring dengan tuntutan zaman tersebut, mau tidak mau semua orang langsung berpindah memanfaatkan media yang menyuguhkan kemudahan tersebut pun tidak luput para kaum ibu. Sehingga tidak aneh jika dalam hierarki usia selalu ada saja sebuatan buat para pegiat medsos tersebut seperti, anak zaman now, mama-muda, mama sosialita, tante-tante arisan, sampai aliansi ibu-ibu pengantar ke sekolah. Bahkan untuk sekedar memanfatkan kemudahan ibu-ibu majelis ta’lim pun tak luput dari perkembanganya teknologi komunikasi tersebut.
Dari dunia maya yang menyuguhkan eksistensi itu tentulah akan selalu terselip penyebaran berita yang beraneka ragam termasuk berita bohong dan ceramah-ceramah provokatif lainya secara cepat. Bayangkan saja ibu-ibu sekarang dengan mudah memposting atau men-share berita seputar obat, info bencana, hingga korban kecelakaan. Bahkan hal tersebut terbawa sampai ke dunia nyata dengan saling menggunjing di kantor, depan pelataran rumah hingga di taman kanak-kanak.  Jika keberadaan ibu-ibu tidak di berdayakan pastinya akan berdampak pada perkembangan tata sosial yang jauh dari semangat komunikasi itu sendiri yaitu menciptakan kesejukan dan kedamaian. Perlunya edukasi khusus agar mereka tidak kalah dengan perkembangan anak-anak mereka yang kian hari lebih pintar dari orang tuanya terutama dalam mengoprasionalkan gadgetnya.
Tidak sedikit ibu dan para orang tua yang gegabah dalam menindak info terkait sumber berita yang belum valid keabsahannya seperti topik seputar paham radikalis pun sering di kaitkan dalam perguruan tinggi padahal dalam tingkat paling dasar sekali pun seperti dalam lingkup keluarga sendiri pun bisa berpotensi berpaham demikian seperti halnya pada pelaku sekaligus korban peristiwa teror bom Surabaya beberapa waktu lalu.Selain itu ibu-ibu juga tidak jarang terkena penipuan produk-produk berbau kapitalis, tak jarang seperti produk kecantikan yang aslinya malah tidak asli alias palsu, semua penyebab dari menelan berita atau info dalam iklan yang tidak jelas sumbernya.
            Sesungguhnya dalam menyikapi arus hoax yang semakin deras ini kita sebagai orang yang sadar dan bisa berperan dalam segala hal termasuk mengingatkan para kuam ibu agar siap sedia sekoci demi menyelamatkan diri dari arus hoax yang menyeret dan menenggelamkan. Sungguhlah upaya preventif tersebut dengan cara memperkaya wawasana dengan banyak membaca dan melihat sejarah, perkaya literasi agar tidak gampang dibodohi, dan tentunya memiliki filtrasi pikiran yang tidak mudah menyebarkan info-info yang tidak valid sumbernya. Jika hal itu bisa kita pegang erat tentulah kita bisa lebih bajk lagi dalam memanfaatkan media sosial tersebut.

*Penulis Amatir sekaligus penikmat sunyi ini merupakan santri PPHS yang sedang menempuh maqomat akhir di jurusan Tasawuf & Psikoterapi IAIN Tulungagung. Suka menulis sejak menjadi mahasiswa. Beberapa tulisanya tercecer di dinding facebook Almahry Rep repans. Bertemu dengan penulis keren adalah idamanya, namun pada akhirnya semua itu hanya dalam angan saja.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde