Woko Utoro Saya sebenarnya kurang begitu menaruh perhatian pada puisi. Faktornya jelas karena saya adalah korban nilai jelek saat mengerjakan ujian bahasa Indonesia. Mungkin tidak hanya saya tapi mayoritas orang adalah korban nilai jelek terutama ketika menjawab soal berkaitan dengan puisi. Tapi entah mengapa nama-nama seperti Chairil Anwar, Rendra, Ajip Rosidi, Sutardji Calzoum Bachri hingga Laila S Chudori selalu muncul dalam barisan soal ujian. Dan anehnya pertanyaan yang diulang seperti unsur puisi, rima, pesan moral hingga menanyakan emosi pembaca dll tapi kita tetap selalu salah menjawabnya. Akhirnya dari itu perjalanan pendidikan berubah drastis. Saya berkesempatan kuliah dan justru sering bersentuhan dengan puisi. Di fase inilah gaya bahasa dan pemikiran mulai terbentuk. Saya justru sering terlibat dalam perayaan baca puisi terutama dulu ketika tergabung dalam Komunitas Pena Ananda Club pimpinan Bunda Tjut Zakiya Anshari. Hingga akhirnya dalam perjalanan itu saya dan puisi menj
Woko Utoro Barangkali setiap penyair selalu memiliki kata-kata terakhir di puisinya. Kata yang menjadi penutup atas sebuah karya sebelum mereka menutup mata. Salah satu kata tersebut adalah Jokpin atau kita kenal dengan Joko Pinurbo. Jokpin adalah manusia sekaligus kata. Salah satu penyair terbaik negeri ini bahkan akan dikenang sebagai legenda karena puisinya yang nakal. Kabar tersiar seantero negeri ketika penyair mbeling itu berpulang. Padahal kita baru saja riang gembira mensyukuri Timnas U-23 masuk semifinal Piala Asia 2024. Tapi sayang euforia itu cepat tertumpuk duka. Di dunia sastra kita tentu kehilangan Jokpin di usianya yang ke-61 tahun. Padahal Kafe Basabasi sempat memperingati 60 tahun perayaan usianya. Jokpin mungkin beda iman dengan kita tapi perbedaan itulah membuatnya sama. Kita sama-sama disatukan oleh puisinya yang jenaka. Puisi yang diterima sebagai satir namun menggelitik. Puisi Jokpin memang terkenal memiliki genre tersendiri. Puisinya begitu khas dan bahkan ia tid