Langsung ke konten utama

Ayah, Anak dan Angpao




Woko Utoro

Tradisi angpao hanya dikenal dalam masyarakat Tionghoa. Akan tetapi budaya berkembang begitu cepat sehingga angpao juga mulai dipakai dalam tradisi lebaran pada umat Muslim. Hal itu bukan hal yang aneh sebab persinggungan budaya sejak dulu memang sudah terjadi. Kadang istilah dalam tradisi apapun mudah diterima karena anggapan mewakili kondisi sosial yang ada. Misalnya istilah ngabuburit hanya dikenal dalam masyarakat Sunda. Tapi saat ini setiap sore Ramadhan menjelang berbuka hampir masyarakat Indonesia menggunakan istilah tersebut. Sungguh hal itu menjadi pemandangan yang cair.

Soal angpo saya ingin menyoroti peran ayah terutama di momen lebaran. Jika ibu tidak usah ditanya, peran serta kasih dan sayangnya kepada anak tak ada duanya. Peran ibu tak akan tergantikan walaupun mungkin seorang anak tidak berharap diberinya angpao. Sebelum jauh kita pahami bahwa angpao adalah sangu atau uang saku lebaran yang dimasukan ke dalam amplop kecil berwarna warni. Umumnya berwarna merah dengan tulisan khusus yang menyertainya.

Sejak jauh hari ayah sudah sibuk menukarkan uang receh pecahan variatif mulai 2 ribu, 5 ribu sampai 10 ribu. Katanya mengapa tidak 20-50 ribu beliau menjawab nanti tekor. Angpao tersebut bukan nominalnya yang terpenting anak-anak senang. Ya perasaan menyenangkan anak memang tak bisa ternilai. Saya pernah berbincang dengan banyak sosok bapak katanya jika sudah mendengar suara anak segala lelah hilang. Terlebih bagi seorang kakek ketika menimang cucu segala capek juga hilang.

Anak memang segalanya bahkan orang tua rela melakukan apa saja hanya demi anak. Dulu para suami berusaha untuk membahagiakan istri. Tapi lambat laun ketika kehadiran anak kebahagiaan itu bergeser sejengkal. Para ayah dan ibu pastinya akan mengalah dan semua demi anak. Karena anak adalah darah daging hasil pertemuan dua insan. Ibarat langit dan bumi yang menumbuhkan pepohonan.

Terkhusus soal ampao mereka sudah menyiapkan jauh hari. Kita tentu tahu anak-anak akan sangat bahagia jika sudah berurusan dengan uang, mainan dan jajanan. Bahkan perkara uang jajan merupakan keharusan. Sebab anak-anak usia sebelum remaja kenikmatan seksualnya masih di tahap oral dalam bahasa psikologi Sigmund Freud. Atau berarti kenikmatan yang disandarkan pada makanan atau jajanan. Maka tidak aneh jika ada anak yang suka jajan alias ngemil.

Setiap mendapat angpao anak-anak akan merasa senang. Mereka serasa menjadi milyarder dadakan. Tapi sayang kesenangan mereka harus dihentikan sejenak oleh mom bank. Ya, ibu paling tahu cara agar anak-anak tidak berlaku boros. Anak-anak diajari berhemat dan memanage keuangan. Sekalipun di hari lebaran keuangan surplus tapi menjadi bijak itu wajib. Anak harus diajarkan bahwa mencari uang itu butuh proses. Membutuhkan kerja keras dan bukan instans seperti sulap. Hal inilah barangkali pelajaran pertama agar anak tidak culas, tidak koruptif.

Terakhir inilah yang menohok. Kata ayah selama kamu hidup hingga dewasa engkau adalah anak. Jika belum menikah kau masih mendapat angpao dari ayah. Bahkan jika belum berumah tangga zakat mu masih ikut dengan ayah ibu. Jadi intinya kapan engkau menikah? memimpin perjalanan panjang bersama kekasih mu. Agar kau tahu besok angpao ayah untuk anak mu yang tak lain adalah cucu ku.[]

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1445 Hijriyah
Mohon maaf lahir batin, Woks Institute petinggi Java Emperan. :)



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde