Langsung ke konten utama

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo




Bang Woks*

Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek.

Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget.

Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Condet, nih gue cucunya Si Pitung, sono lu ke Tanah Abang", dll tentu sangat terasa aroma Betawinya. Hal itulah yang pertama saya dengar ketika diajak Bang Heru di acara Makrab Anak Jabo. Bahasa dan logat nan khas tersebut menjadi identitas pertama yang saya ingat.

Singkat kisah sore itu Bang Heru mengajak saya ke Villa Argowilis Sendang. Katanya di sana Anak Jabo mengadakan acara makrab. Cuma sebelum ke sana kita siapkan kado terlebih dahulu. Saya sempat ingin membawa makanan akan tetapi Bang Heru mengarahkan agar kado berisi barang kalau bisa lagi yang unik. Setelah berbelanja kami sepakat mengisi kado kebetulan saya mangkok + celengan Hello Kitty dan Bang Heru 2 buah balon sabun + tipe x.

Sepanjang jalan Bang Heru cerita bahwa sampai di sana akan mendapati suasana berbeda dari makrab yang pernah kita datangi. Perbedaan yang khas itulah menjadi alasan wajib mengapa kita harus datang. Ternyata ketika sampai di sana sambutannya luar biasa. Kehangatan langsung terseduh ketika awal saya masuk. Bahkan saya diberikan kesempatan untuk bicara sekapur sirih. Cuma sayangnya kopi selalu hadir terlambat dan memang begitu. Kadang rasa kecewa selalu datang terakhir.

Tapi ketika saya ditanya apakah kecewa? saya jawab tidak. Justru saya bersyukur dan berterimakasih karena mendapat pengalaman baru. Bertemu orang kota yang tak habis pikir mengapa mereka bisa disatukan. Padahal faktanya orang kota itu individualnya tinggi atau sering disebut ciri masyarakat patembayan. Lir ibarat pasir yang banyak tapi sulit disatukan jika tak ada semen dan air.

Dalam acara sarasehan malam itu saya langsung konfirmasi ke Bang Heru apa alasan Jabo didirikan? Lalu ia menjawab sederhana bahwa dulu kita kesepian. Akhirnya dengan mencari info dan menyebar selebaran lambat laun ternyata mahasiswa metropolitan yang kuliah di Tulungagung semakin banyak. Bahkan saat ini bisa lebih dari 50 orang membernya dan tersebar dari berbagai wilayah misalnya DKI, Bogor, Bekasi, Karawang dll.

Mereka diwadahi dalam komunitas yang mengatasnamakan "Persodaraan". Jadi di manapun dan bagaimana keadaannya mereka adalah saudara. Serta alasan kesepian itu juga bagian dari sejarah purba manusia. Bukankah dunia ini terlahir dari kesepian Adam yang secara logika di surga itu ada segalanya. Lalu Tuhan meresponnya dengan menciptakan Hawa hingga ramailah dunia.

Selanjutnya kehangatan juga menular ketika acara api unggun dimulai. Di sana selain ada perkenalan antar peserta dan panitia juga terdapat acara tukar kado. Kebetulan saya dan Bang Heru sudah mempersiapkannya. Acara tukar kado tersebut mengingatkan saya di jaman SD yaitu pesta kebun. Pesta kebun atau tukar kado tersebut dilakukan agar peserta merasa gembira. Dan hal itu terjadi di malam yang ternyata diwarnai petasan cabe dan kembang api. Alhamdulillah nasib baik menghampiri saya mendapat sejumlah uang dari tukar kado tersebut. Sedangkan Bang Heru mendapatkan kaos kaki, katanya lumayan buat menghalau dingin.

Acara api unggun usai saatnya peserta (seharusnya) istirahat. Ternyata tidak hanya peserta, panitia pun malah banyak yang jagongan hingga larut malam. Di sinilah saya bisa berbagi tawa dengan alumni Jabo yang ternyata kadang memiliki pikiran unik alias sedikit ngeres. Sampai juga akhirnya saya bisa menyantap hidangan yang sudah disediakan dalam sterofoam. Bahkan saat ngantuk menerpa saya dan Bang Heru disediakan kamar khusus percis musafir jauh dari rumah aslinya.

Hingga esok hari acara penutupan yaitu senam pagi dan fun games. Acara yang sebenarnya saya juga tidak mengikuti sejak awal. Tapi yang jelas berada di antara mereka oke juga. Saya bahkan tidak merasa terasing dan memang beberapa di antaranya sudah dikenal dalam forum lain. Percis seperti Bang Heru katakan, mereka Anak Jabo memang luar biasa. Tapi walaupun begitu tak ada gading yang retak dan tetap saja ada kekurangan. Misalnya acara terlalu bebas sehingga antara peserta laki dan perempuan seperti tak ada kontrol dan hal ini sudah sangat khas ala kaum urban.

Peserta juga kurang begitu menyadari arti kebersihan. Sehingga sampah berserakan di mana-mana. Bahkan yang unik songongnya itu seperti sudah menjadi genetika orang kota. Dibuktikan dengan menyuruh tamu untuk ikut dalam kegiatan tapi caranya terlalu tinggi. Seharusnya tamu diperlalukan sekadarnya saja tidak usah dipaksa menceburkan terlalu dalam di sebuah acara. Tapi bagaimanapun itu saya tetap senang terlebih di antara mereka ternyata masih ingat shalat. Bagi saya tak ada yang lebih berharga daripada keluarga dan kebersamaan. Tapi tak ada yang lebih mahal daripada shalat. Sebab shalat adalah oase esok di hari akhirat. Ngeriii.

*Sesepuh Paguyuban Wong Dermayu

the woks institute l rumah peradaban 9/10/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun