Langsung ke konten utama

Menikah Muda, Yakinkah?




Woko Utoro

Saya pernah ditanya oleh seorang santri putri perihal pernikahan. Katanya ia memiliki keinginan untuk nikah muda. Ketika ditanya balik saya kira ia mahasiswa semester akhir ternyata kuliahnya masih semester awal. Lantas ia sendiri menegaskan alasan seseorang menikah muda atau bekal apa yang dimiliki untuk melangkah ke pelaminan.

Tentu jawaban ini sulit dijawab, tapi secara teoritis saya harus menjawabnya. Sebenarnya terkait bekal menikah saya sudah menulisnya tempo hari dengan judul seharusnya "Algoritma" : http://wokolicious.blogspot.com/2023/05/logaritma-pernikahan.html tapi okelah saya akan tetap menjawab pertanyaan tersebut.

Menikah itu sebenarnya bukan soal muda dan tua melainkan kesiapan. Jika dirasa sudah siap lahir batin biasanya pernikahan akan terjadi dan polanya tidak peduli muda atau tua. Banyak kasus orang-orang yang menikah muda dan ada juga menikah di usia injury time (untuk tidak menyebut telat nikah). Yang jelas soal pernikahan ini unik dan memang beragam pola. Karena sistem perjodohan itu hak mutlak ditentukan Tuhan. Sedangkan manusia hanya diperintahkan berproses sebagaimana syariat telah menentukan.

Pertama modal seseorang menikah adalah mentalitas. Ingat mentalitas ini kondisi yang lebih komplek daripada sekadar berkata "saya siap". Artinya mentalitas ini meliputi aspek psikis, psikologi, sosiologis serta kesiapan berpikir dewasa. Sejauh ini mentalitas salah satu yang menentukan. Bagi mereka yang mengindahkan aspek mental akan kesulitan dalam membina rumah tangga. Tidak sedikit kasus perceraian bahkan KDRT terjadi akibat ketidakmampuan mengelola emosi. Ada juga yang menganggap bahwa materi adalah segalanya. Padahal salah satu kekayaan orang menikah terletak pada cara berpikir, pandangan jernih serta problem solving, menciptakan ketentraman.

Mengapa menikah muda menjadi isu hangat yang terus diperbincangkan? Tentu hal ini berkaitan dengan aspek lain misalnya kesehatan. Bagi aktivis perempuan menikah muda menjadi hal yang digarisbawahi. Pasalnya akan berkaitan dengan kualitas reproduksi utamanya pada perempuan. Kesiapan akan hal itulah yang perlu dipikirkan dengan matang. Bayangkan saja perempuan memiliki siklus menstruasi, mengandung, melahirkan, menyusui sampai mengurus suami. Jika salah satu di antaranya tidak berpikir dewasa untuk saling mengerti, memahami maka menikah muda bisa jadi sesuatu yang gawat.

Terlebih pernikahan usia anak (PUA) sangat ditentang oleh banyak kalangan. Karena bagaimanapun juga pihak perempuan pasti akan dirugikan. Di sisi lain akibat pernikahan yang tidak diinginkan banyak praktik kotor seperti aborsi terjadi. Belum lagi surat dispensasi nikah makin hari kian menjamur. Demikianlah kiranya jika pernikahan orientasi utamanya adalah keinginan sesaat. Padahal banyak kasus kematian ibu dan anak karena ketidaksiapan. Termasuk bayi yang lahir terkena polio dan stunting. Jadi dalam hal ini sangat komplek sekali.

Apakah orang yang sudah berumur menjamin akan hal ini. Belum tentu juga karena menikah itu adalah dua kondisi yang bisa stabil jika dilakukan dengan pengetahuan. Menikah itu bukan tentang diri sendiri melainkan melibatkan dua keluarga besar. Maka faktor selanjutnya adalah pengetahuan sebagai modal menikah. Saya yakin orang yang memiliki pengetahuan akan kesiapan menikah pasti berusaha membangun keluarga dengan lebih berkualitas.

Selanjutnya setelah pengetahuan yaitu materi. Kita berpikir realistis bahwa materi itu penting. Seseorang perlu mempersiapkan masa depan sejak memutuskan menikah. Karena selama ini materi menjadi problem ketika seseorang berumah tangga. Terlebih di kota besar banyak orang yang telat menikah karena takut akan biaya hidup. Tentu kita tahu ongkos hidup di kota begitu besar terlebih ketika memiliki tanggungan anak sekolah dan rumah. Tapi soal menikah lagi-lagi penuh misteri. Aspek materi boleh dipikirkan akan tetapi bukan menjadi problem utama. Ingat kita mahluk beragama. Kita mempunyai Tuhan dan selalu ada caranya yang tidak pernah kita sangka.

Jadi intinya, bagi anda yang ingin menikah sekarang. Menikahlah (itupun kalau sudah punya pasangan wkwk). Karena menikah adalah salah satu dari 4 perkara yang harus disegerakan selain bertaubat, menguburkan jenazah dan melunasi hutang.[]

the woks institute l rumah peradaban 11/10/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde