Langsung ke konten utama

Mengajilah Dunia Sudah Tua




Woko Utoro

Seperti biasa ba'da magrib kami mengaji Kitab Tafsir Jalalain dan Syarah Abi Jamroh bersama Abah. Akan tetapi jarang-jarang beliau dawuh setelah ngaji jika tidak berkaitan dengan hal penting. Karena dawuh kali ini sedikit panjang dan berkaitan dengan hal vital. Maka sebagai santri saya berkewajiban menuliskannya. Kata beliau ngajilah, dunia ini sudah tua.

Beliau bahkan menegaskan untuk menyedikitkan aktivitas bermain hp. Kurangi bermain hp dan perbanyaklah ibadah seperti membaca Qur'an dan dzikir. Tinggalkan bermain hp yang tidak berfaidah. Memang fakta membuktikan bahwa orang yang terlalu masif bermain hp hidupnya malah terbengkalai. Bahkan bermain hp terlalu lama justru tidak membuat orangnya pintar. Bermain hp berlebihan hanya membuat seseorang lupa.

Apa yang didawuhkan Abah adalah bagian dari keresahan beliau selama ini. Karena selama ini santri begitu not respon utamanya ketika shubuh tiba. Santri selalu sedikit yang mengikuti shalat shubuh padahal setelahnya ada pengajian. Kata Abah hal itu salah satu faktornya karena terlalu banyak bermain hp dan tidak mengatur waktu tidur. Beliau berkata ngopi atau keluar dari zona pondok boleh akan tetapi harus ingat ada kewajiban menanti.

Keresahan beliau lebih jauh lagi berkaitan dengan dunia. Alam ini sudah tidak bersahabat, tidak bisa diprediksi. Cuaca ekstrim terjadi di belahan dunia manapun. Salah satu faktornya karena banyak orang yang meninggalkan ngaji. Orang-orang justru terlena akibat gemerlap dunia. Dari hal itulah Abah ingatkan pada para santri untuk tidak menyepelekan apapun termasuk dalam hal jama'ah dan ngaji. Beliau mengistilahkan kita agar prayitno atau menjadi manusia yang mawas diri.

Dunia kini dan esok akan menjadi tipuan. Maka untuk menghalau arus derasnya kita harus ngaji. Rajinlah membaca dan muthola'ah serta kurangi bermain hp. Dunia tak akan selesai jika kita hanya fokus di depan hp. Perbanyaklah berdzikir serta doakan akan selamat dunia akhirat.[]

the woks institute l rumah peradaban 9/10/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde